Mufaraqah dalam Hidup Bernegara

Melihat situasi politik kenegaraan --baik di pusat maupun daerah-- sepertinya berjalan tanpa arah, maka saya tumpahkan kegalauan itu. "Mengambil keputusan adalah hak pemimpin. Mengingatkan pemimpin akan keputusan yang salah adalah hak rakyat. Kalau dak mau diingatkan, ya udah..., rakyat berhak memutus hubungan (mufaraqah) dengan sang pemimpin." Demikian status FB saya ter-publish, di sebuah pagi.
Seperti biasa komentar banyak muncul, dari yang sekadar merespon hingga yang mencoba mengajak serius. Seperti biasa pula, komentar adalah sesuai dengan 'situasi' facebooker atau apa yang sedang dia pikirkan. Dan semua saya pandang sebagai sebuah respon hebat atas kerisauan saya. Seorang kawan, yang saya ketahui adalah pegiat demokrasi di tingkat lokal, merespon statusnya dengan sebuah pertanyaan menantang. "Tolong diajari carane biar gak anarkis," tulisnya.
Dalam litaratur ilmu fiqh ubudiyah, terma 'Mufaraqah' berada dalam hukum shalat jama'ah. Apabila makmum memandang ada perbuatan (af'al) dan ucapan (aqwal) imam yang salah dan dapat membatalkan shalat, maka makmum wajib mengingatkan imam, dengan cara berucap subhanallah (bagi makmum laki-laki). Bila diingatkan makmum tetap saja atau dirasa imam tidak mungkin memperbaikinya dalam masa shlat jama'ah itu, maka makmum diperkenankan untuk berniat keluar dan memisahkan diri (mufaraqah) dari kepemimpinan imam dalam jama'ah tersebut. Pemisahan diri ini tanpa memakzulkan kepemimpinan imam dalam jama'ah tersebut. Hanya saja, bagi pribadi sang makmum, dia sudah bukan lagi imam, karena kesalahan imam berbahaya pada sahnya shalat, sehingga makmum menyatakan keluar dari kontrak. Sang 'mantan' makmum, shalatnya sah, namun tercatat sebagai orang yang shalat sendirian (munfarid), sehingga tidak memperoleh keutamaan 27 derajat pahala shalat jama'ah.
Analogi shalat jama'ah dengan kehidupan demokrasi adalah ikhtiar sederhana untuk mencarikan konsep kehidupan kepemimpinan negara. Harus diakui, belum banyak literatur fiqh yang digunakan untuk menjelaskan kepemimpinan demokrasi. Jadinya, analog tersebut, anggaplah sebagai analog 'sementara' yang ada dasar hukumnya.
Sama seperti dalam shalat jama'ah, penentuan pimpinan sebagaimana presiden, gubernur, bupati dan kepala desa memiliki kreteria dan mekanisme yang semuanya berada dalam domain rakyat. Rakyat butuh pemimpin, sekumpulan orang yang hendak melakukan shalat juga membutuhkan imam (satu saja) untuk memimpin mereka menyembah-Nya melalui ibadah shalat. Ada beberapa kriteria imam shalat: a'lamu (lebih berilmu), afdhalu (lebih bagus pengucapan lisannya), asannu (lebih senior, leboh berpengalaman), dan seterusnya. Pokoknya yang paling lebih di antara yang ada. Bukan yang paling berambisi. Kriteria kepala negara mustinya juga memakai prinsip itu. Dan tidak hanya memakai satu-satunya indikator yang sekarang mulai populer yakni yang paling banyak duitnya (paling bergizi?).
Terus, ketika kepemimpinan dilaksanakan, maka makmum harus mengikuti apapun yang dilakukan imam. Pasrah. Prinsip Islam: Kalau jadi pemimpin, harus berupaya menjadi pemimpin yang ditatati/disegani. Kalau jadi pengikut, jadilah pengikut yang taat kepada pemimpin, Jangan jadi golongan ketiga (Kun Imaman Mutha', au Ma'muman mythi', wala takun tsalitsan).
Apapun gaya dan model (sesuai karakter) kepemimpinan imam dalam memimpin shalat harus diterima makmum, selama berada dalam koridor dan the right track. Bagaimana kalau melakukan kesalahan? Sepanjang kesalahan itu tidak prinsip, masih bisa ditolerir. Misal, ketika imam lupa bilangan raka'at shalat hingga raka'at kelima, makmum bisa mengikuti (kesalahan) itu untuk kemudian ikut sujud sahwi, atau tidak mengikuti dan menunggu sampai imam selesai 'melakukan kesalahan' itu. Ada pilihan-pilihan dalam kepemimpinan shalat.
Namun bila ditemukan kesalahan itu mendasar, seperti pengucapan fatihah yang salah fatal, atau imam melakukan hal-hal yang membatalkan shalat, maka tak ada pilihan bagi makmum untuk meninggalkan sang imam. Di sinilah dibutuhkan adanya kualitas makmum, yang mampu melihat kapan imam berbuat salah, serta sejauh mana kadar kesalahannya.
Sebagai rakyat, kita pun harus menjadi rakyat berkualitas. Rakyat yang mampu berbuat taat, sekaligus rakyat yang peka terhadap kepemimpinan negara. Bila kita lihat ada kesalahan dalam kebijakan, penggunaan kewenangan hingga pengelolaan anggaran, maka rakyat harus bisa mengingatkan pemimpin negara. Mekanisme kontrol sudah diatur, mulai dari pemanfaatan lembaga perwakilan, menyebar opini publik melalui media, hingga aksi direct control sebagaimana pendampingan (advokasi) di tengah ladang civil society.
Kelemahan gerakan kritik ini, justru terletak pada implementasinya. Ketika negara mengabaikan kritik, selalu saja direspon pada dua kutub yang saling radikal: anarkhis atau menyerah. Tak ada gerakan advanced, yang mustinya bisa dilakukan dengan menganalogkan dengan gerakan mufaraqah dalam shalat di atas. Kalau memang dirasa, bahwa ketundukan rakyat pada pemimpin akan menyebabkan 'batalnya' praktik kehidupan bernegara, kenapa tidak rakyat menyatakan memisahkan diri (?) dari kepemimpinan negara, tetapi tetap melakukan aktivitas 'kerakyatan' dengan tetap menghormati sang pimpinan negara sebagai pemimpin sah. Sayangnya, teori dan hukum ketatanegaraan kita tidak lebih maju dari hukum Tuhan dalan hal shalat. Sehingga tindakan mufaraqah politik tersebut bisa saja dianggap sebagai subversif.
Sebenarnya, banyak varian gerakan mufaraqah demokrasi ini. Dalam era orde baru dulu, kita mengenal konsep 'stateless society' atau masyarakat tanpa negara. Dibayangkan, sebuah komunitas rakyat yang sadar akan hak demokrasinya, serta paham akan kelaliman negara, maka dia tak lagi mengakui orde baru sebagai penguasa. Ketika Presiden Gus Dur dilengserkan oleh sindikasi politik 2001, beberapa aktivis menletupkan sebuah gerakan pembangkangan sipil (civil disobedient), dimana masyarakat melakukan gerakan kolosal untuk melawan kekuasaan negara yang dikendalikan oleh kepentingan sesaat. Parodi politik Negeri BBM (Benar-benar Mabuk) yang diinisiasi oleh senior saya di UI, Effendy Ghozali, bisa jadi model mufaraqah yang soft, halus dan jenaka, dengan memanfaatkan kekuatan komunikasi politik.
Walhasil, sebagaimana dalam shalat, mufaraqah harus didasakan 'ketakutan kepada Allah' bukan dilandasi emosi untuk memberontak atau mengganti pemerintahan. Mufaraqah dalam berdemokrasi, adalah gerakan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Mahatma Gandhi yang melawan rezim dengan 'diam'nya. Mufaraqah juga bisa dilakukan (maaf ini subyektif saya) seperti cara Gus Dur memandang demokrasi di Indonesia: Indonesia masih lebih penting, dari pada sekadar sebuah pemerintahan. Dan gerakan mufaraqah intinya adalah menyiapkan rakyat untuk menjadi berkualitas dalam berdemokrasi, lebih berdaya, lebih menjelma menjadi sebuah gerakan civil society, bukan rakyat yang mudah terpedaya dengan BLT, Gaji ke-13, Pemimpin Indomie, dll. Mufaraqah dimulai dari gerakan hati yang bersih tanpa emosi dan ketamakan. Dan akhirnya, mufaraqah tidak mencari apapun, kecuali kemaslahatan rakyat dan ridha-Nya (*).

Comments

Popular posts from this blog

Obituari Kyai Mukhlason: 'Lentera' Itu Telah Padam

PMII dan Visi Besar Para Aktivisnya

Pesantren Mainstreaming Policy