Peninggalan Gus Dur bernama "Humor”
“Pengumuman: untuk memperingati Gus Dur, saya ingin bicara tentang apa yang ditinggalkannya kepada kita: humor". Tiba-tiba muncul tweet di time line account twitter saya dari @gm_gm yang tak lain adalah tokoh pers terkemuka Indonesia. Saya pernah belajar menulis feature pada manusia hebat ini di tahun 1996. Oleh karena itu tak heran, bila saya adalah satu dari 19.502 follewer pak GM. Saya follow pimpinan MBM TEMPO ini, karena seringnya dia memberikan kul-twit, istilah popular di komunitas para tweeps untuk ‘kuliah’ dari tokoh dan pakar melalui rangkaian tweet dari accountnya. Cukup efektif dan murah, karena kita dapat mendapat info dan ilmu penting secara real time.
Hari itu Rabu, 4 Agustus 2010. Hari yang ‘disepakati’ sebagai hari lahir Almarhum KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kenapa disepakati, sebab aslinya, mantan presiden ini lahir pada tanggal 4 bulan Sya’ban, bulan ke delapan dari bulan qamariyah. Namun catatan 04-08 di pinggir sebuh kitab ayahanda beliau KH. Wahid Hasyim itu, disalah pahami sebagai 4 Agustus, dan tertulis dalam dokumen resmi. Terhadap masalah ini, Gus Dur pun cuek. Gitu aja kok repot, hehe…
Dan Goenawan Mohamad pun memulai kuliahnya: “Saya tak akan mengulang humor-humor Gus Dur yang (sudah sangat) terkenal. Saya cuma ingin mengingatkan, dengan humor, Gus Dur mengukuhkan kebebasan. Maka kul-twit tentang humor ini bakal tidak lucu. Tapi dari kemarin Twitter penuh dengan lelucon, dan terkadang saya ikut iuran.” Pembukaan kul-twitnya aja udah menarik. Apalagi isinya. Karena itu pula kenapa saya berinisiatif merangkaikannya menjadi sebuah tulisan utuh, sebagai kado ulang tahun yang dipersembahkan untuk para usdurian, orang yang menjadikan gus Dur sebagai teladan dan imam dalam berpikir, bertindak dan beramaliah. Selamat menyimak:
Ada satu lagu melankolik yang terkenal, karya Sondheim, "Send in the Clown". Liriknya puitis plus gelap. Coba ikuti. Ini lagu jadul banget, tapi dinyanyikan Judy Collins, rasanya tetap menggetarkan. Setidaknya bagi saya. Konon, kata-kata "send in the clowns" merupakan seruan lazim dalam sirkus, ketika terjadi kecelakaan dalam arena atau kegagalan lain. "Kirim masuk badut-badut itu!".
Humor tampaknya merupakan cara mengatasi rasa cemas, tegang, takut, dalam krisis. Mungkin itu sebabnya dalam wayang dan teater Bali, ada "punakawan": orang-orang yang membawa tawa untuk menyelingi adegan-adegan dramatis. Dalam kebersamaan, manusia akan membebaskan diri dari situasi yang terlampau serius. Tapi karena membebaskan, humor dimusuhi. Humor sering dianggap menyeleweng, sesuatu yang tak tertib, dari kehendak atau rencana penertiban.
Dalam "Republik", karya Plato, filosof Yunani kuno itu, digambarkan sebuah negeri di mana para wali negeri tak boleh tertawa. Perlu ditambahkan, dalam Republik yg dibayangkannya, Plato juga mengusir para penyair --kecuali yang memuja para pahlawan. Tapi murid Plato yang tak kalah terkenal, Aristoteles, yang hidup di abad ke-4 Sebelum Masehi, menulis satu risalah tentang humor.
Di antara teman-teman tentu ada yang pernah nonton film "The Name of the Rose". Ini berdasarkan novel Umberto Eco, "Il nome della rosa". Dalam terjemahan Inggris, "The Name of the Rose", buku ini laris banget: sejenis cerita detektif yang mengandung pemikiran yang dalam. Nah, di sana diceritakan sebuah biara Italia tahun 1327, di mana terjadi pembunuhan misterius berturut-turut.
Saya tak akan ceritakan alur kisahnya. Cukup saya sebutkan, para biarawan yang mati itu pernah datang ke perpustakaan biara. Dlm perpustakaan itu ada satu buku yang tak boleh dibaca: karya Aristoteles tentang humor (yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Arab). Jorge, biarawan tua yg buta dan angker itu, menganggap humor itu dosa. “Jesus tak pernah ketawa”, katanya. Dari novel Eco terlihat, humor dimusuhi karena mengandung unsur tak tertib, mungkin kurang ajar, ya.., seperti omongan punakawan itu.
Secara tak langsung, humor adalah ekspresi yang demokratis. Bahkan anarkis -- tapi anarkisme yang damai dan menyenangkan. Kita lihat dalam film Indonesia lama dan "Srimulat": yang lucu ialah ketika para jongos dan babu mengacau lagak tertib para majikan. Mirip dengan itu ada dalam lakon "King Lear" Shakespeare. Ada tokoh yang disebut "the Fool". Semacam di Kebayan dalam teater Sunda.
“The Fool" itu rakyat kecil yang takut risiko, tapi berani menertawakan si raja yang jadi sinting karena nafsu kuasa anak-anaknya. Dalam sejarah sastra Prancis ada Rabelais di abad ke-15. Ia menulis kisah fiktif "Gargantua dan Pantagruel". Coba lihat di Google. Kisah ini gila-gilaan. Tokohnya, pandeta Jean, bilang, "Saya tak pernah tidur nyenyak kecuali kalau dengarkan khotbah dan berdoa". Karena dianggap cabul dan mengejek biarawan, Parlemen Paris melarang buku itu. Tapi seperti video Ariel yg diributkan, "Gargantua" makin laris.
Dari sejarah Rabelais dan novel Eco, tampak bagaimana kekuasaan yang represif anti-lelucon. Maka ada seorang pemikir dan teoritikus bahasa di zaman Stalin di Rusia, namanya Mikhail Bakhtin. Ia menulis tentang Rabelais. Bakhtin kemudian terkenal dgn teorinya tentang "karnaval": acara rakyat yg kocak dan kacau di Zaman Pertengahan, contoh dari kebebasan.
Nampaknya dgn memujikan karnaval, Bahktin menyindir rezim Stalin yang dengan tangan besi membangun Rusia di bidang militer, industri. Tapi industrialisasi dan zaman modern tak hanya dianggap represif di negeri komunis. Charlie Chaplin pernah bikin "Modern Times". Film dari tahun 1936 ini kocak tapi sekaligus sedih tentang Chaplin sebagai Tramp dengan topi Derby, celana gombyor dan jaket ketatnya. Dengan latarbelakang Masa Depresi atau "krisis ekonomi" tahun 1930-an, Tramp yang kikuk terpaksa bekerja sebagai buruh dalam pabrik modern.KIta lihat si buruh terpontal-pontal oleh ketertiban mesin. Di sini, humor adalah protes tapi juga wajah lain kehidupan.
Kita bisa kembali ke Gus Dur: humornya mengetuk hati agar kita tak dijerat ketertiban Negara dan kakunya doktrin agama. Sedikit meniru satu kalimat dlm novel Eco: kita perlukan kebenaran dalam bentuk tertawa, dan tertawa yang menyajikan satu kebenaran. Dengan semangat itu pula, waktu melawan rezim Suharto, kami di Utan Kayu bikin buku bawah-tanah "Mati Ketawa Cara Daripada". Isinya lelucon yg membuat tokoh-tokoh yang menakutkan dari masa itu jadi bahan ketawaan. Kata "daripada" itu ejekan untuk Suharto.
Tapi memang kita harus mampu menjaga agar humor tak sepenuhnya agresif. Saya ingat satu peringatan dari Milan Kundera. Kundera: "Ketawa itu ada di wilayah Setan". Tentunya ini ketawa yang mencemooh segala hal, ketawa dari benci dan rasa tak bahagia. Nah, dengan kalimat itu, saya akhiri Kul-Twit utk mengenang Gus Dur ini: "Anarkis" yang tak memakai jalan kekerasan, tapi lelucon. #hum@gm_gm
(Selamat Ulang Tahun, Gus...)
Hari itu Rabu, 4 Agustus 2010. Hari yang ‘disepakati’ sebagai hari lahir Almarhum KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kenapa disepakati, sebab aslinya, mantan presiden ini lahir pada tanggal 4 bulan Sya’ban, bulan ke delapan dari bulan qamariyah. Namun catatan 04-08 di pinggir sebuh kitab ayahanda beliau KH. Wahid Hasyim itu, disalah pahami sebagai 4 Agustus, dan tertulis dalam dokumen resmi. Terhadap masalah ini, Gus Dur pun cuek. Gitu aja kok repot, hehe…
Dan Goenawan Mohamad pun memulai kuliahnya: “Saya tak akan mengulang humor-humor Gus Dur yang (sudah sangat) terkenal. Saya cuma ingin mengingatkan, dengan humor, Gus Dur mengukuhkan kebebasan. Maka kul-twit tentang humor ini bakal tidak lucu. Tapi dari kemarin Twitter penuh dengan lelucon, dan terkadang saya ikut iuran.” Pembukaan kul-twitnya aja udah menarik. Apalagi isinya. Karena itu pula kenapa saya berinisiatif merangkaikannya menjadi sebuah tulisan utuh, sebagai kado ulang tahun yang dipersembahkan untuk para usdurian, orang yang menjadikan gus Dur sebagai teladan dan imam dalam berpikir, bertindak dan beramaliah. Selamat menyimak:
Ada satu lagu melankolik yang terkenal, karya Sondheim, "Send in the Clown". Liriknya puitis plus gelap. Coba ikuti. Ini lagu jadul banget, tapi dinyanyikan Judy Collins, rasanya tetap menggetarkan. Setidaknya bagi saya. Konon, kata-kata "send in the clowns" merupakan seruan lazim dalam sirkus, ketika terjadi kecelakaan dalam arena atau kegagalan lain. "Kirim masuk badut-badut itu!".
Humor tampaknya merupakan cara mengatasi rasa cemas, tegang, takut, dalam krisis. Mungkin itu sebabnya dalam wayang dan teater Bali, ada "punakawan": orang-orang yang membawa tawa untuk menyelingi adegan-adegan dramatis. Dalam kebersamaan, manusia akan membebaskan diri dari situasi yang terlampau serius. Tapi karena membebaskan, humor dimusuhi. Humor sering dianggap menyeleweng, sesuatu yang tak tertib, dari kehendak atau rencana penertiban.
Dalam "Republik", karya Plato, filosof Yunani kuno itu, digambarkan sebuah negeri di mana para wali negeri tak boleh tertawa. Perlu ditambahkan, dalam Republik yg dibayangkannya, Plato juga mengusir para penyair --kecuali yang memuja para pahlawan. Tapi murid Plato yang tak kalah terkenal, Aristoteles, yang hidup di abad ke-4 Sebelum Masehi, menulis satu risalah tentang humor.
Di antara teman-teman tentu ada yang pernah nonton film "The Name of the Rose". Ini berdasarkan novel Umberto Eco, "Il nome della rosa". Dalam terjemahan Inggris, "The Name of the Rose", buku ini laris banget: sejenis cerita detektif yang mengandung pemikiran yang dalam. Nah, di sana diceritakan sebuah biara Italia tahun 1327, di mana terjadi pembunuhan misterius berturut-turut.
Saya tak akan ceritakan alur kisahnya. Cukup saya sebutkan, para biarawan yang mati itu pernah datang ke perpustakaan biara. Dlm perpustakaan itu ada satu buku yang tak boleh dibaca: karya Aristoteles tentang humor (yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Arab). Jorge, biarawan tua yg buta dan angker itu, menganggap humor itu dosa. “Jesus tak pernah ketawa”, katanya. Dari novel Eco terlihat, humor dimusuhi karena mengandung unsur tak tertib, mungkin kurang ajar, ya.., seperti omongan punakawan itu.
Secara tak langsung, humor adalah ekspresi yang demokratis. Bahkan anarkis -- tapi anarkisme yang damai dan menyenangkan. Kita lihat dalam film Indonesia lama dan "Srimulat": yang lucu ialah ketika para jongos dan babu mengacau lagak tertib para majikan. Mirip dengan itu ada dalam lakon "King Lear" Shakespeare. Ada tokoh yang disebut "the Fool". Semacam di Kebayan dalam teater Sunda.
“The Fool" itu rakyat kecil yang takut risiko, tapi berani menertawakan si raja yang jadi sinting karena nafsu kuasa anak-anaknya. Dalam sejarah sastra Prancis ada Rabelais di abad ke-15. Ia menulis kisah fiktif "Gargantua dan Pantagruel". Coba lihat di Google. Kisah ini gila-gilaan. Tokohnya, pandeta Jean, bilang, "Saya tak pernah tidur nyenyak kecuali kalau dengarkan khotbah dan berdoa". Karena dianggap cabul dan mengejek biarawan, Parlemen Paris melarang buku itu. Tapi seperti video Ariel yg diributkan, "Gargantua" makin laris.
Dari sejarah Rabelais dan novel Eco, tampak bagaimana kekuasaan yang represif anti-lelucon. Maka ada seorang pemikir dan teoritikus bahasa di zaman Stalin di Rusia, namanya Mikhail Bakhtin. Ia menulis tentang Rabelais. Bakhtin kemudian terkenal dgn teorinya tentang "karnaval": acara rakyat yg kocak dan kacau di Zaman Pertengahan, contoh dari kebebasan.
Nampaknya dgn memujikan karnaval, Bahktin menyindir rezim Stalin yang dengan tangan besi membangun Rusia di bidang militer, industri. Tapi industrialisasi dan zaman modern tak hanya dianggap represif di negeri komunis. Charlie Chaplin pernah bikin "Modern Times". Film dari tahun 1936 ini kocak tapi sekaligus sedih tentang Chaplin sebagai Tramp dengan topi Derby, celana gombyor dan jaket ketatnya. Dengan latarbelakang Masa Depresi atau "krisis ekonomi" tahun 1930-an, Tramp yang kikuk terpaksa bekerja sebagai buruh dalam pabrik modern.KIta lihat si buruh terpontal-pontal oleh ketertiban mesin. Di sini, humor adalah protes tapi juga wajah lain kehidupan.
Kita bisa kembali ke Gus Dur: humornya mengetuk hati agar kita tak dijerat ketertiban Negara dan kakunya doktrin agama. Sedikit meniru satu kalimat dlm novel Eco: kita perlukan kebenaran dalam bentuk tertawa, dan tertawa yang menyajikan satu kebenaran. Dengan semangat itu pula, waktu melawan rezim Suharto, kami di Utan Kayu bikin buku bawah-tanah "Mati Ketawa Cara Daripada". Isinya lelucon yg membuat tokoh-tokoh yang menakutkan dari masa itu jadi bahan ketawaan. Kata "daripada" itu ejekan untuk Suharto.
Tapi memang kita harus mampu menjaga agar humor tak sepenuhnya agresif. Saya ingat satu peringatan dari Milan Kundera. Kundera: "Ketawa itu ada di wilayah Setan". Tentunya ini ketawa yang mencemooh segala hal, ketawa dari benci dan rasa tak bahagia. Nah, dengan kalimat itu, saya akhiri Kul-Twit utk mengenang Gus Dur ini: "Anarkis" yang tak memakai jalan kekerasan, tapi lelucon. #hum@gm_gm
(Selamat Ulang Tahun, Gus...)
Comments