Sindikasi Media-Media NU

Liberalisasi ekonomi di Indonesia berakibat pada penguasaan sektor strategis oleh pihak swasta terutama swasta asing. Eksistensi kita sebagai bangsa menjadi terancam. Bila tak ada perlindungan memadai dari negara, maka bisa dipastikan rakyat Indonesia akan menjadi obyek langsung liberalisme dan kapitalisme dunia.

Salah satu sektor strategis yang hampir sepenuhnya dikuasai swasta (domestik dan asing) adalah sektor media. Oligopoli industri media telah membawa Indonesia pada ancaman serius di bidang kebudayaan mengingat industri media lebih menempatkan aspek bisnis sebagai misi utama mengesampingkan aspek budaya baik berupa norma sosial maupun agama.

Sinyalemen Pakar Komunikasi Massa Dennis Mc Quail: conten of the media always reflects who finance them (isi media apa kata siapa pemilik media) benar-benar terbukti. Ketika Media dimiliki oleh kaum kapitalis (sebagian di antaranya kapitalis media internasional), maka pesan yang keluar dari media (cetak, elektronik dan internet) lebih berorientasi pada kepentingan kapitalisme dari pada melindungi kebudayaan bangsa.

Kondisi ini diperparah dengan adanya persekutuan kepemilikan media dengan kekuasaan politik. Akibatnya, kapitalisme media kini juga dimuati orientasi politik kepentingan dan kontestasi politik kekuasaan. Lagi-lagi rakyatlah yang akhirnya menjadi obyek propaganda kepentingan baik atas nama kapitalisme maupun kekuasaan politik.

Kebijakan Pemerintah yang telah menetapkan bahwa tahun 2013 sebagai tahun dimulainya Era Televisi Digital juga memberikan tantangannya tersendiri. Dengan dibukanya enam Lembaga Penyiaran Penyelenggaran Penyiaran Multiplexing (LPPPM), maka akan tersedia lebih 60 saluran televisi yang harus dipilih, diseleksi dan diterima oleh rakyat yang sebagian besar di antaramya belum cukup memiliki kesadaran (literasi) akan pemilihan isi media. Rakyat secara langsung harus dihadapkan pada rimba program televisi yang sebagian besar diproduksi atas nama kepentingan trend industri media internasional, sedikit sekali yang berorientasi pada entitas kebudayaan dan karekter Bangsa Indonesia.

Apabila kondisi ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan kehilangan entitas dan identitas kebudayaannya sebagai bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Dan apabila hal ini terjadi, maka pada hakekatnya Bangsa Indonesia telah bubar, karena hilangnya jati diri dan karekter kebudayaannya.

Nahdlatul Ulama perlu melakukan upaya serius menghindarkan Indonesia dari ancaman hilangnya identitas dan karekter kebudayaannya dengan tampil sebagai kekuatan raksasa civil society di Indonesia dalam menghadapi liberalisasi informasi dan komunikasi. Dan, eksistensi NU di sektor media massa menjadi keniscayaan untuk melakukan upaya pengendalian dan perimbangan terhadap arus deras liberalisasi informasi dewasa ini.

Dinamika Media NU

Jauh sebelum Nahdlatul Ulama berdiri, KH. Abdul Wahab Hasbullah sudah menyadari pentingnya upaya mempertahankan opini dan pendapat kalangan pesantren dari segala jenis propaganda dan kompetisi ideologi yang ada kala itu. Terbentuknya Taswirul Afkar pada 1918, sebagai forum kajian dan penyebaran gagasan Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah merupakan bukti, bahwa penggalangan opini dan sikap menjadi penting di era transisi dan kompetisi.

Dalam sejarahnya, media milik organisasi Nahdlatul Ulama timbul tenggelam seiring dengan dinamika dunia pers dan industri Media di Indonesia. NU pernah memiliki Koran yang sangat disegani di era Orde Lama dan di awal Orde Baru. Harian Duta Masyarakat, namanya. Dengan dipandegani beberapa tokoh pers, khusunya sang Pemimpin Umum, Drs. H. Mahbub Junaidi. Duta Masyarakat mampu mewarnai dinamika pers Indonesia, hingga akhirnya berhenti beroperasi pada 1970.

Di Kalangan pesantren, muncul kreativitas tulis menulis melalui penerbitan Kitab berbahasa Arab (kitab kuning) atau kitab/buku berbahasa jawa dengan tulisan arab (pegon). Tokoh yang sangat mencolok di dunia tulis menulis ini adalah KH. Bisri Musthofa (ayahanda Gus Mus) yang telah menulis dan menerbitkan puluhan judul kitab/buku.

Pada tahun 1980-an, di Jawa Timur berdiri Majalah AULA yang dipandegani oleh KH. Anas Thohir, A. Hasyim Muzadi dan Abdul Wahid Asa dan Choirul Anam. Hingga kini majalah ini tetap bertahan, diterbitkan oleh PWNU Jawa Timur dan kini telah mencapai oplah hingga 12.000 eksemplar.

Pada era transisi Orde Baru ke Orde Lama, Harian ‘Duta Masyarakat Baru’ dibangkitkan kembali, dan sempat mencuri perhatian dan kerinduan masyarakat Nahdliyin akan hadirnya Koran NU. Dalam perjalanannya Duta Masyarakat Baru mengalami dinamika manajemen, hingga pada tahun 2000 Harian Duta Masyarakat dikelola di Surabaya oleh Yayasan Bisma dan PT. Duta Aksara Mulia pimpinan Drs. H. Choirul Anam. Dan Mulai tahun 2010 membuka biro di Jakarta. Tahun 2012 menerbitkan Majalah DUMAS. Sebelumnya, pada tahun 1998 pernah terbit Tabloid Tengah Bulanan WARTA.

Maraknya media online direspon oleh PBNU dengan mendirikan NU Online melalui www.nu.or.id . Keberadaan media ini sangat populer bagi pengguna Internet dunia dan Indonesia. NU Online masuk pada rangking 101.474 dari jutaan website yang ada di dunia. Bagi Netter Indonesia, NU Online berada di posisi 1.345 dari seluruh situs yang ada (Sumber: alexa.com). Untuk Organisasi Sosial, NU Online termasuk Situs yang paling sering dikses.

Selain itu, di tingkat PBNU juga ada beberapa terbitan Majalah dan Jurnal. Salah satunya Jurnal Taswirul Afkar yang diterbitkan oleh PP. Lakpesdam NU. Jurnal ini mengangkat khazanah pemikiran NU dan Pesantren. 10 tahun terakhir juga telah terbit Majalah Risalah NU yang dimaksudkan sebagai Majalah NU tingkat Nasional.

Pada 31 Januari 2010, untuk pertama kali NU mendirikan Stasiun Televisi sendiri, bernama TV9. Televisi ini dikelola di bawah PT. Dakwah Inti Media, sebuah perusahaan televisi yang didirikan dan dimiliki sahamnya oleh PWNU Jawa Timur. Keberadaan Televisi ini merupakan rekomendasi dari empat kali Konferwil NU Jawa Timur yang meminta Jam’iyyah bisa bergerak terkait dengan adanya ekses negatif tayangan televisi di Indonesia.

Selain diterbitkan oleh Organisasi NU, Media berkonten dakwah Islam ahlus sunnah wal jama’ah juga banyak diterbitkan oleh Pesantren. Demikian pula fenomena media jejaring social atau social media, menjadikan banyak ragam media yang dikelola oleh jam’iyyah NU maupun jama’ah NU. Namun karena tidak tersindikasi dengan baik, maka media-media tersebut terkesan tidak tertata dan banyak di antaranya kemudian tidak bisa dipertahankan.

Sindikasi dan Konvergensi Media NU

Menghadapi oligopoli industri media yang bertumpu pada kekuatan modal, maka sudah saatnya Nahdlatul Ulama menata jaringan medianya. Kuantitas warga NU dan solidnya komunitas NU secara psikografis merupakan modal utama bagi media NU untuk bisa bertahan di tengah persaingan industri media.

Kecenderungan industri media saat ini adalah pembentukan pasar berdasarkan kesamaan ciri komunitas (based on Community). Hal ini seiring dengan mulai banyak digunakannya pendekatan Public Reletion (PR-ing aproach) dari pada pendekatan periklanan (advertising) sebagai metode yang kini mulai ditinggalkan. Sebai misal gerakan ‘Green and Clean’ yang dilaksanakan di berbagai kota, pada dasarnya adalah strategi sebuah perusahaan multinasional yang mencoba mengurangi dampak lingkungan terhadap limbah kemasan makanan yang ditinggalkannya.

Di sisi lain, Negara melalui berbagai regulasi tentang media (diantaranya UU Penyiaran) telah mendorong media untuk semakin beragam baik secara pesan (Diversity of content) maupun secara kepemilikan (Diversity of ownership). Hal ini menjadi peluang bagi NU untuk membentuk sebuah jaringan media dengan segmen konten dan audiens warga NU. Jaringan ini setidaknya ditujukan untuk mewadahi dan mengelola tiga karakteristik yang melekat pada media NU selama ini. yaitu: (1) Sarat Misi/Dakwah, (2) Lemah Financial dan Bussiness Plan (3) Lemah sindikasi dan interkoneksitas.

Fokus dari Networking ini bertumpu pada tiga hal. Pertama, mengumpulkan kekuatan dan karakteristik media NU yang sudah ada sesuai sub-segmen yang ada di komunitas NU (dan/atau melengkapi dengan membuat media baru yang dibutuhkan). Kedua, menciptakan Jaringan ‘NU Content’ dengan memanfaatkan jaringan struktur maupun kultur NU di Indonesia bahkan dunia. Ketiga, (dan ini penting), Membuat Jaringan iklan ‘NU Media’ dengan model Advertising bundling: Buy one, get many. Sebuah trend penjualan iklan media yang kini dijalankan oleh semua Media Group yang ada.

Apakah jaringan ini hanya sekadar Networking Antar Media atau lebih serius lagi menjadi sebuah korporasi (holding company) dan media Group yang tentunya dikendalikan dengan manajemen investasi dan perencanaan bisnis yang matang? Semuanya serba terbuka dan memungkinkan.

Walhasil. Dalam situasi himpitan arus deras industri media, NU harus menjadi pelopor bangkitnya civil society dalam melakukan perimbangan informasi demi mashlahatul ‘ammah.

Comments

Ahmad Zaini said…
Assalamualaikum maaf mengganggu waktunya. Saya zaini mahasiswa IAIN SBY. Kebetulan saya sedang penelitan skripsi dan judul saya. Dinamika pers NU. Klw tidak keberatan saya bisa diskusi dgndgn jenengan pak.

Popular posts from this blog

Obituari Kyai Mukhlason: 'Lentera' Itu Telah Padam

PMII dan Visi Besar Para Aktivisnya

Darul Ulum Tetap Jaya, yang Melegenda