Televisi dan Cinta Kiai Nizar pada Gus Dur
Malam Ahad, 28 Shafar 1444 Hijriyah, bertepatan 24 September 2022, digelar peringatan 21 tahun wafat KH Nizar Hafidz, Pengasuh PP Hidayatullah, Tampung, Kalirejo, Kecamatan Gondangwetan, Pasuruan. Saya mencoba mengenang sosok istiqamah, sabar, alim, dan sangat mencintai ilmu ini. Semoga menjadi ibarat dan isarat kebaikan bagi kita semua.
Kiai Nizar adalah suami Bik Roh, bibi (adik abah) saya, Nyai Hariroh binti KH Birrul Alim. Karenanya, saya memanggil Kiai Nizar dengan Man Nizar. Man Nizar lama mondok di Sidogiri, era Kiai Abdul Jalil, Kiai Abdul Adzim hingga Kiai Kholil. Man Nizar diambil menantu untuk mengembangkan Pondok Tampung oleh Mbah Birrul Alim yang pernah menjadi pengasuh sementara Sidogiri saat transisi kepangasuhan dari Kiai Jalil ke Kiai Kholil Nawawi.
Mbah Birrul Alim sendiri menjadi pengasuh Pondok Tampung, karena sebagai santri senior di Pondok Sidogiri, diambil menantu Mbah Tolchah Tampung, dinikahkan dengan Nyai Masniyah (ibu abah saya, Kiai Muzakki). Begitulah tradisi pesantren. Banyak pengasuh pesantren, justru melalui proses 'naturalisasi' via rekrutmen lewat relasi menantu-mertua. Mbah Birrul Alim asli Madura, tepatnya dusun Melakah, Kedundung, Sampang. Jadi darah saya, mengalir 'Tretan Madura'. Haha.
Kembali ke Man Nizar. Ia begitu penting bagi saya, karena telah mengajari arti sebuah 'cinta'. Cinta yang saya maksud, cintanya pada ilmu, ahli ilmu dan kebenaran. Ya, sebuah cinta yang tak terbantahkan. Saat KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur didapuk menjadi presiden (1999-2001), menjadi tahun-tahun terberat bagi Man Nizar.
Cintanya pada Gus Dur, dan seperangkat keluhuran tersandang: cucu Hadratus Syekh, ketua umum PBNU, serta representasi kiai pesantren, menjadikan Gus Dur begitu spesial di mata hati Kiai seperti Man Nizar. Dalam konsepnya, sebagai ulama, Gus Dur adalah resonansi ilmu dan misi luhur Baginda Rasul. Ia tak boleh direndahkan, sebagaimana para politisi senayan DPR RI saat itu, memperlakukan #GusDur.
Di depan televisi, sering kali Man Nizar tak mampu meredam amarah, menyaksikan euforia kebebasan pers via berita televisi, memuat wawancara, agenda setting dan komentar sekenanya para politisi itu tentang Presiden Republik Indonesia. Bagi Man Nizar, itu sudah keterlaluan! Dipikirkannya situasi ini, hingga mengganggu waktu istarahat dan kesehatannya. Tak jarang, tiba-tiba sesak nafas, di depan Televisi. MasyaAllah.
Saat ituasi genting begitu, Gus Syukron Nizar, adik sepupu, putra sulung Man Nizar, menelpon.
"Cak riniyo, Abah sesek maneh"
(Kemari, ayah sesak napas lagi).
Walau beda kecamatan, saya bergegas. Syukron minta saya menjelaskan ke abahnya, bahwa situasi tidak sedramatis di layar televisi. Jadi, jangan terlalu kepikiran omongan politisi.
"Wonten nopo, Man?"
Saya membuka pembicaraan.
"Yo opo #GusDur?"
Napasnya tersengal. Dadanya naik-turun.
Dengan mencium dan memegang tangan lemahnya, saya pun menjelaskan pelan-pelan, bahwa serangan politisi itu terlalu mengada-ada. Jauh dari fakta. Dan Gus Dur tidak terganggu dengan beragam serangan itu. Terlalu mudah untuk menangkisnya. "Aman!" Saya meyakinkan, sambil mencoba menyelipi cerita-cerita lucu, meringankan beban.
Man Nizar, satu dari ribuan Kiai dan jutaan warga NU/pesantren yang terganggu dengan tingkah polah 'anak TK' politik produk reformasi 1998 itu. Di mata #KiaiKampung seperti Man Nizar, #GusDur terlalu mulia untuk dihardik, direndahkan. Saya kumpulkan fakta, anasir, dan kemampuan story telling saya untuk meyakinkan paman, bahwa tidak ada yang salah dengan #GusDur, tetap on the track.
Presiden pertama dari pesantren ini diserang, hanya karena tak mau tunduk dan kompromi pada kemauan partai politik, yang mengagendakan pelanggaran batas nilai bernegara, atas nama kepentingan kekuasaan kelompok. Gus Dur sedang menegakkan konstitusi itu, sambil di saat bersamaan menjaga keutuhan bangsa dari disintegrasi. Jihad kebenaran yang sarat keluhuran. Membanggakan, bukan?
Agar tidak kaku, saya kuatkan 'presentasi' malam itu dengan mengutip sebuah syair yang populer di pesantren. Dan saya yakin, Man Nizar menyukainya.
اذا ساء فعل المرئ سائت ظنونه
(Idza sa-a fi'lul mar-i, sa-at dzunuhu)
Kalau seseorang itu terbiasa berperilaku jelek, maka prasangkanya pun jelek! Kira-kira begitu, makna bebasnya.
#GusDur disangka membuat 'abuse of power' karena mereka terbiasa melakukan hal demikian itu, di rezim korup dan otoriter yang sudah jatuh oleh gelombang reformasi. No, Gus Dur tidak bisa disamakan dengan perilaku mereka.
Saya bercerita, sambil lamat-lamat mengikuti respon di mata dan rona wajah. Dari mata dan napasnya, Man Nizar sepertinya bisa mengikuti dan menerima penjelasan saya. Ada senyum tipis, dan mata binar yang saya saksikan sejelas purnama.
"Yo wis nek ngono. Aku lego."
(Ya sdh kalau gitu, saya lega).
Kalimat pendek itu diucapkan dengan satu tarikan napas panjang, yang energinya berpendar saya rasakan hingga ke wajah hati saya, yang tak jauh dari wajahnya. Man Nizar, pun bisa tertidur. Di luar kamar, Syukron menyalami, plus meledek saya: "Terima kasih, Pak Dokter!" Haha...
Sejuta dokter, tak akan bisa mengimbangi jutaan penyakit yang terus berkembang. Sekuat literasi informasi dihelat, masih akan kalah cepat dengan arus kolaborasi praktik media dan politisi jahat yang tanpa rasa melambungkan terpaan berita negatif, demi menggulingkam dan meraih kekuasaan. 'Abuse of democracy' sedang nyata terjadi di negeri yang baru tiga tahun merayakan perubahan.
Tapi Minimal, Kiai tulus nan lembut seperti Man Nizar sudah mengetahui, bahwa demokrasi bisa memakan anak kandung dan pejuangnya sendiri. Para Kiai sudah tak lagi menganggap, kehormatan ilmu itu bisa disebandingkan, dibanding-bandingke dengan praktik politik culas politisi. Ini bukan soal kebenaran, tapi tentang kekuasaan!
Man Nizar atau KH Nizar Hafidz wafat, setahun setelah Presiden #GusDur dilengserkan via Sidang Istimewa MPR RI yang aneh dan dipaksakan. Beliau wafat pada 11 Mei 2002 atau 28 shafar 1423 dalam tahun hijriyah. Man Nizar wafat dengan tenang, tak lagi gundah dengan hiruk pikuk kontestasi dan asal menang yang ia rasakan sebelumnya.
Ia wafat sebagai nafsul muthmainnah, yang kembali pada Allah dengan anugerah ridha dan jannah. Jariyah ilmu dan sedekahnya melimpah, doa pun terus mengalir dari mana-mana, sebagaimana juga Gus Dur yang dicintainya. Untuk keduanya, kita kirimkan hadiah terindah, Alfatehah...
Berikut Link youtube haul ke 21 KH Nizar Hafidz via TV9 NUsantara:
Comments