Skip to main content

Kemana Arah Demokrasi Kita Selepas Pemilu?

Saya selalu gelisah meramalkan arah demokrasi kita ke depan, khususnya di daerah. High cost, tetapi tercanam low product. Biayanya tinggi luar biasa , tapi hasilnya akan biasa-biasa saja. Itulah ancaman yang sedang menghantui proses politik bangsa yang bernama pemilu.

Indikatornya jelas. Masyarakat sudah mulai emoh berpikir panjang tentang ideologi partai. Padahal produk jualan partai adalah ideologi, disamping produk lain yakni kandidat atau caleg. Masyarakat telah menganggap sama semua partai, tanpa beda. visi dan ideologi partai dianggap sebagai hal abstrak yang tak lagi penting. Situasi yang berkebalikan, dengan tujuan diterapkannya sistem multi partai. Kalo semua partai dianggap sama, kenapa harus banyak partai. Atau kalau lebih ekstrim, kalau yang penting caleg, kenapa legislatif tidak dipilih sebagaimana sistem pemilihan perseorangan sebagaimana DPD aja.

Kepada kolega di daerah, saya sering ibaratkan partai adalah bus penumpang yang berjalan sesuai dengan trayeknya. Dan caleg adalah pengemudi bus itu. Sebagai penumpang, kita tentu bertanya terlebih dulu tujuan kedatangan bus tersebut. Surabayakah, Malangkah atau Banyuwangikah? Bukankah konyol, ketika kita hanya memilih sopir bus yang kita kenal, tanpa memperhatikan ke mana sang sopir akan menjalankan bus itu sesuai trayeknya. Sama konyolnya dengan fenomena yang terjadi sekarang: yang penting calegnya, partai sama saja.

Bukan bermaksud merendahkan kapabillitas caleg dari partai dengan 'ideologi' yang tidak jelas. Tapi ini tentang keharusan berpolitik dan berdemokrasi. Anggota DPR/DPRD adalah prajurit partai yang tergabung dalam kesatuan fraksi di parlemen. Prajurit hanya melaksanakan perintah komandan. Kualitas dan prestasi anggota DPR/DPRD tidak berdiri sendiri, tetapi terkait erat dengan arah kebijakan partai melalui fraksinya. Seorang anggota dewan harus tunduk pada kebijakan partai/fraksi. Sementara kebijakan partai selalu diambil dari kecenderungan ideologi dan visi partai yang mendasarinya.

Terus bagaimana bisa, ada pendapat yang membenarkan: 'yang penting calegnya, partai bisa apa saja'. Bagi saya ini masalah serius. Karena menyangkut arah politik dan demokrasi pasca pemilu. Ideologi partailah yang bisa menentukan arah demokrasi seuatu bangsa. Bukan visi pribadi caleg yang ada. Lebih baik politik dikendalikan oleh partai yang jelas berideologi, dari pada ditentukan oleh serpihan misi caleg tanpa kendali ideologi partai. Bukankah pemilu adalah kompetisi antar ideologi partai, bukan pertandingan penggalangan suara kelas bebas antar caleg tanpa peduli partai dan etika pemilihan.

Bagaimana menurut Anda?

Comments

Popular posts from this blog

Obituari Kyai Mukhlason: 'Lentera' Itu Telah Padam

Namanya Kyai Muhlashon. Usianya sebaya dengan ayahandaku, 65-an tahun. Konon mereka berdua, satu pondok nyantri ke Kyai Jazuli, Ploso, Kediri. Karenanya, dia selalu baik padaku. Terasa sekali, kalau dia menganganggapku anak. Walau dia bungkus dengan sebuah penghormatan 'formal' padaku. Dia selalu memposisikan 'bertanya' kepadaku. Hanya karena dia pengurus MWC (pengurus NU di tingkat kecamatan). Sehingga merasa harus bertanya dan 'taat' pada kebijakan Pengurus Cabang. Acapkali aku merasa risih. Bukan hanya karena selisih umur yang hampir separuh, tetapi juga karena beliau syuriyah NU, pemegang kebijakan tertinggi di NU. Bahkan Rois Syuriyah. Sementara aku hanya tanfidziyah (pelaksana), dan itupun hanya sekretaris. Belum lagi, bila diperbandingkan 'jasa' beliau membina ruhani dan syari'at ummat. Waduh, gak ada apa-apanya. Aku hanya sebutir pasir di tengah gurun perjuangan yang dia jalani selama ini. Betapa tidak. Tiap malam, dia mengasuh pengajian ruti

Sindikasi Media-Media NU

Liberalisasi ekonomi di Indonesia berakibat pada penguasaan sektor strategis oleh pihak swasta terutama swasta asing. Eksistensi kita sebagai bangsa menjadi terancam. Bila tak ada perlindungan memadai dari negara, maka bisa dipastikan rakyat Indonesia akan menjadi obyek langsung liberalisme dan kapitalisme dunia. Salah satu sektor strategis yang hampir sepenuhnya dikuasai swasta (domestik dan asing) adalah sektor media. Oligopoli industri media telah membawa Indonesia pada ancaman serius di bidang kebudayaan mengingat industri media lebih menempatkan aspek bisnis sebagai misi utama mengesampingkan aspek budaya baik berupa norma sosial maupun agama. Sinyalemen Pakar Komunikasi Massa Dennis Mc Quail: conten of the media always reflects who finance them (isi media apa kata siapa pemilik media) benar-benar terbukti. Ketika Media dimiliki oleh kaum kapitalis (sebagian di antaranya kapitalis media internasional), maka pesan yang keluar dari media (cetak, elektronik dan internet) lebih

Televisi dan Cinta Kiai Nizar pada Gus Dur

Malam Ahad, 28 Shafar 1444 Hijriyah, bertepatan 24 September 2022, digelar peringatan 21 tahun wafat KH Nizar Hafidz, Pengasuh PP Hidayatullah, Tampung, Kalirejo, Kecamatan Gondangwetan, Pasuruan. Saya mencoba mengenang sosok istiqamah, sabar, alim, dan sangat mencintai ilmu ini. Semoga menjadi ibarat dan isarat kebaikan bagi kita semua. Kiai Nizar adalah suami Bik Roh, bibi (adik abah) saya, Nyai Hariroh binti KH Birrul Alim. Karenanya, saya memanggil Kiai Nizar dengan Man Nizar. Man Nizar lama mondok di Sidogiri, era Kiai Abdul Jalil, Kiai Abdul Adzim hingga Kiai Kholil. Man Nizar diambil menantu untuk mengembangkan Pondok Tampung oleh Mbah Birrul Alim yang pernah menjadi pengasuh sementara Sidogiri saat transisi kepangasuhan dari Kiai Jalil ke Kiai Kholil Nawawi.  Mbah Birrul Alim sendiri menjadi pengasuh Pondok Tampung, karena sebagai santri senior di Pondok Sidogiri, diambil menantu Mbah Tolchah Tampung, dinikahkan dengan Nyai Masniyah (ibu abah saya, Kiai Muzakki). Begitulah tra