Rindu Gus Dur, Rindu Kyai Ahmad Siddiq

Entah, pagi ini kok tiba-tiba perasaan ‘kangen Gus Dur’ saya tersambung dengan Pak Yudhiastra.
“Assalamualaikum, bagaimana kabar Gus Dur?” sebuah pesan obrolan tiba-tiba muncul di kiri bawah halaman FB. Agak tergagap aku membacanya, apalagi berpikir untuk menjawabnya. Sebab aku benar-benar gak tahu, bagaimana kabar beliau. Informasi terakhir, beliau dirawat di RSCM, dan dibezuk beberapa tokoh, termasuk Jusuf Kalla. Tapi aku harus menjawabnya.
“Insya allah baik. Jarang ketemu fisik, saya hanya ketemu visi, dengan beliau..,”. Itu jawaban maksimal yang sebenarnya tidak menjawab apapun, kecuali informasi ketersambungan visi saya dengan Gus Dur. Jawaban yang umum, Hehe…
Secepat kilat, dia menyambar. “Semoga belia cepat sembuh, sekarang saya lagi jarang nonton TV, lagi jenuh saja lihat tingkah politikus yg angkuh.” Betapa orang ini telah kehilangan sesuatu dari televisi: kehilangan kepercayaan pada politisi kita. Tapi Apa hubungannya dengan Gus Dur ya? Barangkali dia rindu pada tampilan tulus apa adanya, tanpa jaim, tanpa kepura-puraan yang menjadi ‘trade mark’ fragmentasi politik Gus Dur selama ini. Ya, kalau yang itu, aku setuju dengan dia.
“Saya tinggal di salah satu kota kecil di Bali Barat.” Penjelasannya mulai mengusir misteri ‘siapa dia’ di tempurung kepalaku. Dia cerita, dulu pernah menjadi aktivis organisasi Gerakan Pemuda Ansor NU di Jembrana. “Sekarang saya di rumah aja, ngasuh anak2 sesekali di masjid, mencoba menyelamatkan generasi penerus, meski sedikit. Susahnya sekarang, karena imbas globalisasi dan carut marut politik, sehingga kita susah mencari figur panutan.”
Globalisasi bagi sementara orang adalah berkah yang mengundang materi berlimpah. Tapi tidak bagi ustadz ini. Globalisasi malah membuatnya gelisah akan masa depan ‘keselamatan iman’ generasi santri-santrinya. “Di NU sekarang susah sekali mencari figur seperti KH. Ahmad Siddiq, dan kyai2 kita dulu. Ketika nongol di TV, ujung-2nya selalu politik orientasinya: kalo gak kekuasaan ya uang.”
Terus terang, aku kaget. Aku sering mendengar ‘protes ini’, tapi tidak dari orang yang baru kukenal. Mungkin dia bermaksud memberi masukan padaku, yang kini kebetulan jadi pengurus NU. Aku mencoba menjelaskan konteks. “Orientasi TV kita juga seringkali gak mendidik. Mereka selalu memandang kyai hanya dari sisi politik, perjuangan kyai yang tulus tak masuk dalam 'angle' media kita,” kataku.
“Krn TV kan media bisnis, tinggal bagaimana kita mengkondisikan,” sergahnya. Tapi lanjutannya ini yang bikin aku tersedak. “Selaku orang yang cinta NU sebetulnya saya kecewa kepada KH. *** (edited) , ketika keberpihakan pada satu figur (pasangan pilpres). Seandainya terpilih, dan tidak sesuai dengan keinginan ummat apa yang bisa dipertanggungjawabkan. Sebaiknya menurut saya, lebih arif jika pra kyai melepaskan keberpihakan, klo mau terjun ke politik jangan setengah2, kasihan ummat,” Walau masih butuh diskusi lebih panjang, tapi aku mengapresiasi pandangan dia. “Ya... aspirasi itu memang sudah menjadi kehendak bersama, banyak hal yang harus ditata.”
“Kebetulan saya pernah mondok di Astra (As-Shiddiqiyah Putra) Jember. Jadi saya tahu betul visi KH. Ahmad Siddiq.” Oh, dia pernah nyantri pada KH. Ahmad Shiddiq. Bagiku, beliau adalah salah satu mutiara termahal yang pernah dimiliki NU, pasca Mbah Hasyim Asy'ary. Kepeloporannya bersama Gus Dur dalam merumuskan konsepsi ‘Kembali ke Khittah NU’ akan dikenang sepanjang masa. Ketika beliau menjadi Rois Am, dan Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU, jamiyyah ini begitu disegani dan popular hingga seantero dunia. Imbasnya pun terasa hangat hingga sekarang.
“Karena itu, saya mengidolakan beliau, andai sekarang NU dipimpin oleh tokoh yang minimal memiliki keinginan seperti beliau menyelamatkan NU, tidak menjadikan NU sebagai alat, betapa bahagianya menjadi warga NU. Kalau sekarang, ada rasa malu mengaku sebagai NU. Menurut saya, NU sekarang menjadi bola, bukan pemain.” Kritik keras ini, manifestasi ‘sense of belonging’ atas dorongan cintanya pada NU. Walau sedikit emosional, tapi ada serpihan ketulusan yang harus ditindaklanjuti dalam proses organisasi, seperti Muktamar NU, Januari tahun depan.
“Sabar…,” jawabku membesarkan hatinya. “Virus pencerahan Kyai Ahmad Siddiq sedang menggejala, terutama di kalangan pengurus NU yang muda-muda. Setidaknya, kami bersama kyai-kyai di Pasuruan, sedang mewujudkan keinginan para peletak dasar visi NU. Kita mulai dari yang kecil-kecil: misi keagamaan, ekonomi, pendidikan dan social. Jurus pertama, memang harus menempatkan NU murni sebagai jam’iyyah diniyyah-ijtima’iyyah. Relasi politik, dibangun secara setara dengan pemerintahan dan organisasi politik. Baru setelah itu, kita menggarap keberdayaan warga NU, terutama ekonomi dan pendidikan. Untuk memulainya, memang butuh konsensus bersama di antara pengurus, dan harus kuat, terhadap cobaan dan godaan politik.
Walau belum sempurna kami di Kabupaten Pasuruan, mencoba untuk memulai.”
Tak ada maksud riya’, pamer atau takabur. Tapi aku hanya bermaksud meminta dukungan sekaligus menghibur hati seseorang yang gelisah dan kehilangan harapan terhadap NU. “Itu kabar gembira, merinding bulu kuduk saya membacanya. Semoga NU berjaya kembali.” Pesan itu dia kirim dengan hati. “Amin..,” jawabku tanpa terasa…

Comments

yang pernan mondo di ASHTRA namanya siapa? tks

Popular posts from this blog

Obituari Kyai Mukhlason: 'Lentera' Itu Telah Padam

PMII dan Visi Besar Para Aktivisnya

Pesantren Mainstreaming Policy