Skip to main content

Aku Sekadar Menyampaikan...


Kadang aku merasa, sistem ragaku bak sebuah DVD Player. Alat pemutar audio visual, dengan content yang tetap. Aku harus 'membunyikannya' di hadapan kumpulan orang-orang. Dari satu titik ke titik lain.
Tak terasa diriku sudah terlalu banyak bicara. Berbicara sesuatu yang sama. Dari satu forum ke forum lain. Memang lakon ini, tak semata tergerak dari energi pribadi. Ada sebuah misi mulia milik bersama, realisasi dari kesepakatan akan sebuah idealisme praksis yang harus aku jalankan. Tapi, tak pikir-pikir kok jadi aku yang banyak bicara.
Bicaraku sih, memang tak segombal pidato politik. Walau dak jauh-jauh amat dengan penjual obat. Selalu saja ada bumbu, yang harus aku tebar demi menuntun logika khalayak. Entah itu humor, atau jurus SDSB (sok dekat, sok baik). Tapi itu bumbu, agar mereka tak bosan mengikuti 'omelan' panjangku.
Bicaraku panjang, bahkan terlalu panjang. Bisa hampir 2 jam. Edan... Tapi sayang, baru aku sadari, ketika forum udah bubar. Entah apa yang ada di benak mereka. Mungkin mereka menggerutu dalam hati untuk tidak mau mendengarku lagi. Padahal aku bermaksud baik, ingin menjelaskan, sejelas-jelasnya. Aku jadi mengaca, betapa menjengkelkannya bila berhadapan dengan orang yang banyak omong, dan omongannya panjang, walaupun 'ada isinya'..
Oh, tidak... Aku jadi takut. Semoga aku bukan termasuk orang yang terkategori 'man katsura kalamuhu, katsura khatha-uhu'. Siapa yang banyak bicara, dialah yang paling banyak salahnya. Aduh, terus kalau aku banyak salahnya, terus gimana? Bagaimana dengan 'kebenaran' yang saya coba untuk sebar luaskan kemana-mana?
Entahlah, semoga salahku mampu tertutupi oleh benarku. Bukankah aku sekadar DVD Player? Tidak salah kan, kalau alat itu 'banyak omong' karena memang dikehendaki oleh sang empunya. Bukankah aku hanya sekadar memutar keping DVD yang dimasukkan ke otakku. Bukankah mulutku, tak lebih dari load speaker dolby stereo yang harus indah didengar telinga. Bukankah, aku sekadar mencoba menyampaikan 'kebenaran' bermerk optimisme. Optimisme para petani untuk tegak mandiri, berdikari dan bertahan di tengah himpitan pasar bebas dan arus deras globalisasi.
Yups! Benar, itu intinya. Wama 'alaina illal balagh... Aku tak melakukan apapun, kecuali sekadar menyampaikan (optimisme itu). Tak Lebih..

Comments

Popular posts from this blog

Obituari Kyai Mukhlason: 'Lentera' Itu Telah Padam

Namanya Kyai Muhlashon. Usianya sebaya dengan ayahandaku, 65-an tahun. Konon mereka berdua, satu pondok nyantri ke Kyai Jazuli, Ploso, Kediri. Karenanya, dia selalu baik padaku. Terasa sekali, kalau dia menganganggapku anak. Walau dia bungkus dengan sebuah penghormatan 'formal' padaku. Dia selalu memposisikan 'bertanya' kepadaku. Hanya karena dia pengurus MWC (pengurus NU di tingkat kecamatan). Sehingga merasa harus bertanya dan 'taat' pada kebijakan Pengurus Cabang. Acapkali aku merasa risih. Bukan hanya karena selisih umur yang hampir separuh, tetapi juga karena beliau syuriyah NU, pemegang kebijakan tertinggi di NU. Bahkan Rois Syuriyah. Sementara aku hanya tanfidziyah (pelaksana), dan itupun hanya sekretaris. Belum lagi, bila diperbandingkan 'jasa' beliau membina ruhani dan syari'at ummat. Waduh, gak ada apa-apanya. Aku hanya sebutir pasir di tengah gurun perjuangan yang dia jalani selama ini. Betapa tidak. Tiap malam, dia mengasuh pengajian ruti

Sindikasi Media-Media NU

Liberalisasi ekonomi di Indonesia berakibat pada penguasaan sektor strategis oleh pihak swasta terutama swasta asing. Eksistensi kita sebagai bangsa menjadi terancam. Bila tak ada perlindungan memadai dari negara, maka bisa dipastikan rakyat Indonesia akan menjadi obyek langsung liberalisme dan kapitalisme dunia. Salah satu sektor strategis yang hampir sepenuhnya dikuasai swasta (domestik dan asing) adalah sektor media. Oligopoli industri media telah membawa Indonesia pada ancaman serius di bidang kebudayaan mengingat industri media lebih menempatkan aspek bisnis sebagai misi utama mengesampingkan aspek budaya baik berupa norma sosial maupun agama. Sinyalemen Pakar Komunikasi Massa Dennis Mc Quail: conten of the media always reflects who finance them (isi media apa kata siapa pemilik media) benar-benar terbukti. Ketika Media dimiliki oleh kaum kapitalis (sebagian di antaranya kapitalis media internasional), maka pesan yang keluar dari media (cetak, elektronik dan internet) lebih

Televisi dan Cinta Kiai Nizar pada Gus Dur

Malam Ahad, 28 Shafar 1444 Hijriyah, bertepatan 24 September 2022, digelar peringatan 21 tahun wafat KH Nizar Hafidz, Pengasuh PP Hidayatullah, Tampung, Kalirejo, Kecamatan Gondangwetan, Pasuruan. Saya mencoba mengenang sosok istiqamah, sabar, alim, dan sangat mencintai ilmu ini. Semoga menjadi ibarat dan isarat kebaikan bagi kita semua. Kiai Nizar adalah suami Bik Roh, bibi (adik abah) saya, Nyai Hariroh binti KH Birrul Alim. Karenanya, saya memanggil Kiai Nizar dengan Man Nizar. Man Nizar lama mondok di Sidogiri, era Kiai Abdul Jalil, Kiai Abdul Adzim hingga Kiai Kholil. Man Nizar diambil menantu untuk mengembangkan Pondok Tampung oleh Mbah Birrul Alim yang pernah menjadi pengasuh sementara Sidogiri saat transisi kepangasuhan dari Kiai Jalil ke Kiai Kholil Nawawi.  Mbah Birrul Alim sendiri menjadi pengasuh Pondok Tampung, karena sebagai santri senior di Pondok Sidogiri, diambil menantu Mbah Tolchah Tampung, dinikahkan dengan Nyai Masniyah (ibu abah saya, Kiai Muzakki). Begitulah tra