Obituari Ning Mahmudah: Kisah Sepotong Tempe


Bahagia itu, punya ibunda yang hobby-nya menyenangkan hati orang. "Idkhalus surur kata kanjeng nabi itu shadaqah. Tak punya cukup uang,  jangan menghalangi berbuat baik, bersedekahlah dengan cara menyenangkan hati orang lain...." kata ibunda suatu ketika.

Nama beliau, Mahmudah binti Hasyim, putri pasangan Mbah Hasyim dan Mbah Mila. Masyarakat di kampung dan juga santri dan para alumni pesantren, memanggil beliau: Ning Mahmudah. Saya dan adik-adik memanggil beliau, Ibu (pasnya, Ibuk). Para keponakan, misanan-misanan saya, sangat dekat dengan Ibu. Dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Mereka memanggil Bik Dah atau Wak Ibu Dah.

Ibu memang menyenangkan, humoris. Konon, itu mewarisi Mbah Kakung, Mbah Hasyim. Saya tahu itu, dari nenek, Mbah Mila. Kalau Ibu 'beraksi' dengan cerita-cerita lucu yang sebenarnya diulang-ulang itu, Mbah Mila sering menyela. "Wis ta Dah. Cek persise Bapakne!" (Sudah, sudah. Persis banget sama ayahmu). Itupun Mbah Mila protes sambil ekspresi lucu menahan tawa, efek cerita kocak Ibu. Konon Mbah Hasyim sering bercerita lucu dan (juga) diulang-ulang. Berarti nurun ke saya juga. Haha...

Saat jumatan siang tadi, ketika menyimak khutbah di masjid sebelah rumah Surabaya, saya kok teringat cerita ibu. Entah kenapa saya jadi ingat kisah itu. Begini ceritanya.

Suatu ketika ada acara serah terima pengantin. Pidato penyerahan sudah dilaksanakan, tinggal penerimaan dari wakil tuan rumah. Yang pidato, rupanya salah satu keluarga pengantin pria. Rupanya, kehabisan bahan. Entah karena grogi atau memang tidak terbiasa pidato di depan mik.

Setelah ngalor-ngidul berpidato, dia bermaksud mewakili tuan rumah meminta maaf bila ada hidangan yang kurang berkenan. Dia berpidato begini:

"Para pengiring penganten putri yang saya muliakan," dia mencoba mengganti bahasan.
"Kepada bapak-ibu, nanti akan disuguhkan berbagai makanan. Kalau nanti dibagikan dari dapur oanitia, sebuah piring dan di atasnya ada nasi dengan kuah warna coklat kehitam-hitaman. Ketahuilah, Itu enak rasanya,. Namanya, Rawon, Saudara-saudara!" Suaranya meninggi. Para hadirin saling berpandangan, menyimak pidato tentang rawon di acara penyerahan pengantin itu.

Rupanya dia belum puas. "Dan kalau nanti di atas nasi rawon ada benda kotak-mesagi, diiris agak miring, ingatlah itu bukan daging, tetapi TEMPE, Saudara-saudara!" Nadanya kian tinggi yang membuat sebagian hadirin mulai bertepuk tangan.

Belum Selesai...
"Habis makan, nanti kami masih punya suguhan kue lezat, dibungkus rapi daun pisang, bentuknya nyaris bulat, isinya KINCO beruoa parutan kelapa dicampur gula merah. Ketahuilah, itu namanya BUGIS, Saudara-saudara!" Hadirin kian bersemangat bertepuk tangan, dan tertawa genbira menyimak pidato yang tidak biasa itu.

Dan di alam nyata, kami yang mendengar cerita ibu, juga tertawa terpingkal-pingkal, walau (sekali lagi) ini bukan yang pertama kami dengar.

Demikianlah Ibu Mahmudah, Ning Mahmudah, Wak Ibu Dah, Bik Dah, yang dalam benaknya selalu ingin membuat orang bahagia. Selalu ingin melegakan hati orang lain, sekecil apapun manfaat yang beliau terima. Ibu tak segan mengngatkan kami bila dianggap tidak menghormati inisiatif baik orang lain, tidak melegakan hati orang.

Ibu, Bik Dah, Wak Ibu Dah yang selalu hadir dimana saja kesedihan berada untuk kemudian dibaliknya kesedihan itu menjadi kekuatan dan pentingnya menerina takdir baik-buruk dari Allah. Ning Mahmudah yang juga hadir di kala ada bahagia yang dirasakan sanak saudara atau santri, karena punya anak, menempati rumah baru, atau menikah, untuk sekadar menemani syukur bahagia atas anugerah indah dari Tuhan. Untuk sambang bayi, Ibu bisa lebih dari sekali, hanya untuk mengantarkan atau menemani sambang. Ibu selalu membahagiakan orang lain, bukan berarti ibu tak punya kerumitan dalam hidup. Beliau manusia biasa. Namun kemampuan menyisihkan sedih diri untuk membuat orang lain bahagia, patut diacungi jempol.

Ibu Mahmudah akan memanggil santri putri yang akan menikah, diberinya nasehat, melatih bagaimana menjadi perempuan shalihah di samping suaminya kelak. Ibu rela menuliskan sendiri hingga hampir pagi, naskah-naskah berisi template pidato di berbagai moment yang bisa mereka pakai andai dipercaya oleh masyarakat sekitarnya. Saya hanya bisa melihatnya dari jauh, buku tulis kosong yang diserahkan santri tadi siang, sudah penuh dengan tulisan tangan ibu, di pagi harinya.

Kenapa tidak difoto kopi saja, pernah saya bergumam. Bukan. Ini ternyata bukan soal efektifitas. Bagi ibu, ini soal perhatian guru pada santri, yang akan boyong dari pesantren dan akan memulai kehidupan rumah tangga yang nyata. Ibu sangat konsern menjaga integritas dan kualitas Wetonan (alumni) Darul Ulum Karangpandan (nama pesantren kami) di tengah masyarakat. Hingga harus menuliskan sendiri template berbagai pidato praktis sehari-hari. Dan tentu saja, bukan pidato tentang TEMPE dan BUGIS seperti tadi. Hehe..

Ibunda Mahmudah wafat pada Jumat pagi, 22 Sya'ban, 14 tahun lalu, sehabis shubuh, seperti sengaja menunggu sang suami, Ayahanda Syakur turun dari jamaah shalat shubuh di masjid pesantren. Beliau wafat di kala belum cukup bagi kami semua (terutama saya anak sulungnya) membalas sederet kebaikan, pengorbanan pendidikan dan keteladanan darinya. Semoga kami terus bisa terus menjaga, mengalirkan berbagai amal jariyah yang begitu banyak almarhumah semai semasa 52 tahun usia kehidupannya di dunia fana ini. Sugeng Istirahat, ibu..  Alfatehah....

Surabaya, 13 Maret 2020

Comments

Popular posts from this blog

Obituari Kyai Mukhlason: 'Lentera' Itu Telah Padam

PMII dan Visi Besar Para Aktivisnya

Pesantren Mainstreaming Policy