PMII dan Visi Besar Para Aktivisnya

Orang-orang Hebat tak selalu datang dari kota. Banyak di antara mereka, justru berangkat dari desa. Visi besar, kesungguhan dalam mewujudkannya serta doa orang tua adalah tiga mesin kembar yang mendorong banyak tokoh ke puncak kehebatannya. Saya mau bercerita Ainun Najib, 'anak daerah' yang kini tinggal di Singapore, menjadi salah satu pimpinan di Perusahaan Grab, sebagai Head of analytics, platform and regional business. Awalnya Ainun, santri biasa, di. pelosok sebuah desa di Gresik, masih 30 Kilometer dari pusat kota. Nama desanya Balongpanggang. 

Saat masih di Madrasah, Ainun Najib bercita-cita menciptakan mobil terbang, seperti Pak Habibie yang bisa bikin pesawat Terbang. Visi besar, kecerdasan/kesungguhan, dan doa orang tua membawanya ke kota. Setelah MI, dan lanjut ke SMP di kecamatan, Ainun diterima di SMA Negeri 5 Surabaya. Di sekolah favorit ini menjajal kesungguhannya, hingga mewakili Indonesia dalam Olimpiade Matematika Asia Pasifik. Visi besarnya untuk tidak menyerah pada keterbatasan mulai menemukan jalannya ketika ia memperoleh beasiswa di Universitas Teknologi Nanyang (NTU) Singapura, perguruan tinggi dambaan anak muda di Asia. 

Seseorang tergantung pada dengan siapa ia berteman dan bergaul. Di Nanyang, Ainun berproses di ekosistem teknologi dunia dan pusat pusaran bisnis internasional, hingga dipercaya korporasi global macam perusahaan komputer IBM, Aplikasi jalan-jalan Traveloka dan kini di perusahaan Grab dengan posisi dan tentunya gaji yang menggiurkan. Kepakaran dan kepeloporan Ainun Najib sampai menarik perhatian Presiden Joko Widodo. Dalam kesempatan pengukuhan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Balikpapan, 2022 lalu Presiden menyarankan NU memanggilnya pulang untuk ikut membangun industri digital di Indonesia.

Tentang visi besar ini, saya masih terngiang-ngiang kalimat sakti mahaguru, sosok yang turut membentuk saya menjadi hari ini, KH Hafidz Hasyim, Pengasuh PP. Darul Ulum Karangpandan, Pasuruan. 
كن رجلا رجله في الثرى وهمته في الثريا
Kun rajulan, rijluhu fis-tsara, wa himmatuhu fis-tsurayya. Jadilan seorang pemuda, yang kakinya menginjak bumi, tetapi cita-citanya mencakar angkasa di bintang (pagi) Tsurayya. 

Dalam berbagai kesempatan, termasuk di pengajian bakda subuh di Masjid Pesantren, Kiai Hafidz tak lelah memotivasi kami para santri desa ini, agar berani keluar, menelusuri tantangan, menghirup alam luas di luar sana, menggapai cita-cita di puncak angkasa, tanpa harus tercerabut dari akar kebudayaanya. Berusahalah menjadi manusia hebat, yang tak melupakan asal-usul dan kebudayaannya. 

Saran serupa, digelorakan Proklamator Indonesia dan presiden pertama, Ir Soekarno. Dalam kesempatan meresmikan perguruan tinggi Islam pertama kali untuk kaum santri, yakni IAIN di Yogyakarta, tahun 1950an,  Bung Karno berpidato dengan semangat berkobar. Kurang lebihnya begini:  "Wahai para santri. Anda lahir di pesantren. Belajar dan besar di Pesantren. Dewasa dan berkeluarga di pesantren. Dan bahkan nanti mati di pesantren. Dan kemudian Anda merasa besar dan paling besar di lingkungan Anda sendiri. Tidak!  Tidak cukup!  Keluarlah. Lihatlah, di luar sana. Di luar pagar pesantren, orang-orang telah membangun gedung-gedung tinggi pencakar langit, kemajuan peradaban sedang berjalan. Orang-orang pesantren, tidak boleh ditinggal peradaban. Terbanglah tinggi, raih puncak ilmu pengetahuan, taklukkan dunia, dan bangun peradaban!"

Pidato Bung Karno itu, tentu saja penyambung lidah para ulama, mewakili visi para kiaI-kiai kita, salah satunya KH. Abdul Wahid Hasyim, putra Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari, yang saat itu menjabat Menteri Agama, shahibul hajat pendirian IAIN bagi para santri pasca pendidikan tafaqquh fiddin di pondok pesantren. Di kemudian hari, perguruan tinggi ini terbukti menjadi 'pabrik ilmu' yang menelorkan para intelektual, birokrat hingga tokoh-tokoh Islam yang sebagian besar berasal dari pesantren-pesantren di pedesaan. Bagi saya, kehadiran perguruan tinggi Islam di daerah basis santri seperti Pasuruan adalah kelanjutan, sekaligus bukti nyata (dan jariyah) dari kepeloporan dan keinginan Kiai Wahid Hasyim untuk meng-upscale para santri desa menjadi intelektual, birokrat dan pemimpin bangsa. Saya adalah saksi itu semua. Para santri yang dulu saya beruntung ikut mengajarnya walau setipis lembar kabut ilmu, kini menjadi 'orang' yang membanggakan. 

Lebih bersyukur lagi, mereka mau menempa diri, menambah kapasitas knowledge, skill dan mentalnya dalam Kawah Candradimuka organisasi kemahasiswaan Keislaman-Keindonesiaan,  Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Sebagaimana saya juga merasakan dan berproses di dalamnya, pergerakan telah nyata membentuk pribadi seorang aktivis menjadi lebih kuat, berwawasan dan punya nyali! Banyak gagasan besar terhenti di artikel, penelitian dan kelas-kelas pengajaran. Di tangan para aktivis, ide dan gagasan mampu diwujudkan. Mereka tak hanya jago kandang, tapi juga jago tandang! 

Inilah menurut saya, kelebihan, competitive advantage para mujahid, kalian yang berani memilih jalur perjuangan sebagai aktivis, sebagai penggerak kemaslahatan fi sabilillah. Dan Allah memuji dan memberi kelebihan untuknya:
فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً
Allah memberi kelebihan nilai/derajat diri dan harta lebih kepada para pejuang/aktivis (fi sabilillah) Di bandingkan dengan yang diam saja, tidak peduli. (QS. Annissa':95)

Lahirnya para aktivis yang kemudian kembali ke masyarakat, menjadi penggerak dan inspirasi bagi komunitasnya masing-masing, adalah bukti meyakinkan, bahwa PMII dan perguruan tinggi  secara signifikan telah berkontribusi bagi ikhtiar peradaban, kemajuan dan kemaslahatan di daerah santri seperti Kota dan Kabupaten Pasuruan. Sebuah anugerah Tuhan, yang patut disyukuri. 

Buku yang sedang Anda baca ini adalah sebuah pernyataan akan pentingnya sebuah being process (proses menjadi) dari para aktivis pergerakan mahasiswa, khususnya para ketua komisariat PMII di STAI Shalahudin Pasuruan, perguruan tinggi keislaman miliki PCNU Kabupaten Pasuruan. Dari romantika perjalanan 'being process' mereka, kita bisa membenarkan postulat bahwa visi besar, kesungguhan dan nilai luhur berupa doa adalah sesuatu yang nyata. Banyak orang telah membuktikannya, termasuk para aktivis ini, saya dan juga Anda, bukan? Selamat Membaca! 

Surabaya, 21 Juni 2022

Comments

Popular posts from this blog

Obituari Kyai Mukhlason: 'Lentera' Itu Telah Padam

Darul Ulum Tetap Jaya, yang Melegenda