Generasi Sinetron
Korban pertama, adalah ibu-ibu rumah tangga dan remaja putri. Waktu itu Telenovela berjudul Cassandra, begitu populer.
Raam Punjabi, adalah salah satu orang yang gelisah akan fenomena booming telenovela ini. ‘Nasionalisme’ pengusaha yang namanya sering diplesetkan dengan peribahasa ‘Tiada Rotan Ram Punjabi’ ini akhirnya terketuk juga. Entah nasionalisme dia sebagai orang yang tinggal di
Melalui perusahaannya Multi Vision, Pak Raam memulai bisnisnya. Pangsa pasar yang terbentuk dari penggemar telenovela dia masuki. Maka mulailah cerita seru tentang Sinema Elektronik (disingkat sinetron), yang tidak hanya sekadar bisnis tetapi berubah menjadi sebuah industri. Sineton dibuat di ‘pabrik’ yang bernama Rumah Produksi atau Production House (PH). Dan Multivision adalah PH yang pertama kali muncul sehingga akhirnya membentuk atmosfir industri baru di lingkup rumah produksi dan stasiun televisi. Multi Vision (dan juga beberapa PH lain sebagaimana Star Vision, Prima Entertainment, dan banyak lagi) bahkan bisa memproduksi sinetron secara massal dalam satu harinya.
Karena massal, maka baik tema maupun talent (artis/aktor) disiapkan secara massal dan borongan. Prinsipnya, yang penting bisa produksi, kualitas cerita dan pemain tak menjadi perioritas. Kepada pemain diterapkan sistim kontrak sekaligus untuk beberapa judul sinetron yang diproduksi, dan sebisa mungkin dicari pendatang baru yang mau dibayar ‘berapapun’, asal cocok dan cantik. Ide cerita dikembalikan kepada selera pemirsa. Bila ada tema cerita yang digemari pemirsa, terbukti dengan tingginya audience rating (tingkat kepemirsaan di televisi), maka stasiun televisi dan PH akan berkedip mata untuk membuat dan menayangkan tema sejenis dengan sedikit pembeda, sehingga tak jauh berbeda.
Mereka menyebutnya dengan teknik me-too program. Tayangan menjadi cenderung sama dan seragam. Prinsip diversity of content (keragaman isi tayangan) menjadi ditinggalkan, padahal seharusnya menjadi syarat dalam rangka menghindarkan pemirsa kepada kecenderungan budaya atau ideologi tertentu. Tayangan dengan nafas yang sama di hampir semua televisi, dalam periode waktu tertentu (bisa beberapa minggu), sama saja dengan upaya indoktrinasi dan internalisasi sistimatis (baca: pencekokan) sebuah paham dan kultur tertentu (sebagian besar dari negeri asing) kepada pemirsa kita. Dan korban paling empuk yang rawan terkena pengaruh itu adalah mereka yang sedang ‘berproses menjadi orang’, yakni para remaja, para Anak Baru Gede (ABG), atau kalian para pelajar.
Ketika selama tahun 2000-2001 Sinetron Perkawinan Dini (ditayangkan RCTI, diproduksi Prima Entertainment) begitu populer, maka tak ada yang menyangka pengaruhnya begitu kuat bagi perilaku remaja dan pelajar kita beberapa tahun berikutnya. Pelaku utama, Dini (diperankan oleh Agnes Monica) dan Gunawan (diperankan Syahrul Gunawan) memperkenalkan perilaku free sex ketika mereka sama-sama sebagai pelajar, yang mengakibatkan Dini hamil di luar nikah dan terjerumus dalam perkawinan muda dan rumah tangga yang rapuh. Pengusaha dan Produser sinetron, merasa sukses, karena kreasinya laku keras. Mereka hanya berpikir keuntungan, sementara para pelajar kita terpengaruh pikirannya sembari bergumam: “Andai saja kesempatan itu datang”. Dan kita tidak tahu persis, berapa pasang pelajar kita yang telah ‘mengamalkan’ ajaran sinetron itu.
Entah kenapa, ketika pendidikan agama dan norma budaya cenderung ditinggalkan, pada saat yang bersamaan, pendidikan perilaku melalui televisi, khususnya sinetron makin laku terbeli. Pendidikan moral dan norma melalui pendidikan agama yang diajarkan Ustadz Ramli di sekolah (yang hanya dua jam mata pelajaran dalam seminggu?) harus bersaing dengan pendidikan perilaku gaul di sinetron yang ‘diajarkan’ oleh Pak Raam Punjabi minimal dua jam dalam setiap harinya. Dan hasilnya bisa ditebak, ajaran Sinetron Pak Raam lebih bisa diterima, dibandingkan ocehan Ustadz Ramly yang santri itu. Apakah memang generasi santri kita sedang bermetamorfosis menjadi generasi sinetron? Semoga saja, tidak.
Comments