Skip to main content

Asyik Juga, Diskusi Politik dengan Para Gus

Selasa (12/3) kemarin, saya diminta Mas Ahmad Sidogiri untuk memandu diskusi. Saya mau, karena pesertanya menarik hati. Yakni para Gus (muda) di Pasuruan, rijalul ghad, pemimpin masa depan di pesantren masing-masing. Lebih menarik lagi mereka mau diskusi soal politik. About substancy of politics. Mereka ingin tahu apa itu politik, karena kata itu kini begitu populer di kalangan pesantren.
Saya memandu diskusi itu. Ada Cak Duki (Masduqi Baidlowi, Anggota Komisi I, wasekjen PBNU). Ada pula Pak Bashori Alwi (kepala Dinas Pendidikan Kota). Dikusi berlangsung menarik. Ternyata mereka hebat. Mereka berpikir tentang masa depan pesantren. Bahkan lebih dari itu: membincang tentang masa demokrasi dan politik di Indonesia. Agar lebih tertata dan tak 'bergejolak' tanpa arah seperti saat ini. Merekapun memberi tema: 'Kepemimpinan Pesantren di Tengah Gejolak Politik". Mantap....

Dan Radar Bromo pun memuatnya. Judulnya agak provokatif: "Kembalikan Pesantren pada Fitrahnya". Pesantren sudah banyak yang terkoyak oleh rayuan politik praktis. Banyak pesantren yang mulai ditinggalkan masyarakat, karena terjebak dalam lingkaran politik.
Hal itu dilontarkan Masduki Baidhowi dalam diskusi yang digelar di gedung pertemuan Hotel BJ. Perdana Pasuruan kemarin. Masduki Baidhowi adalah tokoh NU yang saat ini masih duduk sebagai anggota DPR RI dari PKB. "Fakta semacam itu sudah tidak bisa ditutup-tutupi. Juga sudah bukan rahasia lagi. Sekarang sudah saatnya pesantren dikembalikan ke fitrahnya," ungkapnya.
Dia mengenang pesantren dulunya sebagai lembaga pendidikan yang sangat dipercaya masyarakat di semua kalangan. Salah satu alasannya, pesantren diyakini lepas dari setiap kepentingan golongan atau pihak tertentu. Tapi, masalah mulai muncul ketika partai-partai politik mulai menjadikan pesantren sebagai obyek politisasi kepentingan mereka. Tentu yang namanya parpol, apa pun itu, pasti membawa kepentingan tertentu yang bertolak belakang dengan posisi pesantren yang sebelumnya berdiri di tengah-tengah.
"Politisi telah merayu pesantren untuk duduk di antara dua pilihan, ke kanan atau ke kiri. Bukan lagi di tengah-tengah. Parahnya, sebagian pengasuh pesantren malah ikut terjebak atau santrinya terjebak untuk bujuk rayuan tersebut," terang Masduki.
Akibat banyak pengasuh pesantren yang menceburkan diri ke ranah politik praktis, akhirnya lambat laun mereka ditinggalkan masyarakat. Situasi itulah yang menurut Masduki Baidhowi membuat kalangan gus-gus muda di lingkungan Pasuruan menjadi gundah. Mereka yang tergabung dalam Forum Keluarga Pesantren akhirnya menggelar dialog aktif tentang Pesantren dan Politik.
Dalam diskusi itu, Masduki mengajak para gus-gus muda itu mau mengembalikan pesantren ke fitrah aslinya. "Karena sesungguhnya tanpa berpolitik praktis, pesantren sudah mempunyai posisi politik sendiri yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan sekadar ikut berkompetisi meraih kekuasaan pemerintahan. Kalau kemudian terjun ke politik praktis, pesantren tidak akan ubahnya hanya diposisikan sebagai mesin politik saja," tukasnya prihatin.
Fakta yang diungkap ke permukaan oleh tokoh yang juga mantan wartawan Tempo itu agaknya memancing perhatian peserta diskusi. Banyak gus-gus yang hadir, ikut aktif urun rembug membahas bagaimana agar pesantren kembali mandiri, dan memiliki indipendensi.
"Dengan diskusi seperti ini, kami ini ada pencerahan. Komunitas pesantren harus sudah disadarkan untuk kembali ke khittahnya semula. Fungsi pendidikan, dan pembinaan akhlakul karimah harus lebih dikedepankan. Sehingga tidak terlalu larut dalam kepentingan politik tertentu," tegas Achmad Sa'dullah, ketua forum tersebut.

Comments

Popular posts from this blog

Obituari Kyai Mukhlason: 'Lentera' Itu Telah Padam

Namanya Kyai Muhlashon. Usianya sebaya dengan ayahandaku, 65-an tahun. Konon mereka berdua, satu pondok nyantri ke Kyai Jazuli, Ploso, Kediri. Karenanya, dia selalu baik padaku. Terasa sekali, kalau dia menganganggapku anak. Walau dia bungkus dengan sebuah penghormatan 'formal' padaku. Dia selalu memposisikan 'bertanya' kepadaku. Hanya karena dia pengurus MWC (pengurus NU di tingkat kecamatan). Sehingga merasa harus bertanya dan 'taat' pada kebijakan Pengurus Cabang. Acapkali aku merasa risih. Bukan hanya karena selisih umur yang hampir separuh, tetapi juga karena beliau syuriyah NU, pemegang kebijakan tertinggi di NU. Bahkan Rois Syuriyah. Sementara aku hanya tanfidziyah (pelaksana), dan itupun hanya sekretaris. Belum lagi, bila diperbandingkan 'jasa' beliau membina ruhani dan syari'at ummat. Waduh, gak ada apa-apanya. Aku hanya sebutir pasir di tengah gurun perjuangan yang dia jalani selama ini. Betapa tidak. Tiap malam, dia mengasuh pengajian ruti

Sindikasi Media-Media NU

Liberalisasi ekonomi di Indonesia berakibat pada penguasaan sektor strategis oleh pihak swasta terutama swasta asing. Eksistensi kita sebagai bangsa menjadi terancam. Bila tak ada perlindungan memadai dari negara, maka bisa dipastikan rakyat Indonesia akan menjadi obyek langsung liberalisme dan kapitalisme dunia. Salah satu sektor strategis yang hampir sepenuhnya dikuasai swasta (domestik dan asing) adalah sektor media. Oligopoli industri media telah membawa Indonesia pada ancaman serius di bidang kebudayaan mengingat industri media lebih menempatkan aspek bisnis sebagai misi utama mengesampingkan aspek budaya baik berupa norma sosial maupun agama. Sinyalemen Pakar Komunikasi Massa Dennis Mc Quail: conten of the media always reflects who finance them (isi media apa kata siapa pemilik media) benar-benar terbukti. Ketika Media dimiliki oleh kaum kapitalis (sebagian di antaranya kapitalis media internasional), maka pesan yang keluar dari media (cetak, elektronik dan internet) lebih

Televisi dan Cinta Kiai Nizar pada Gus Dur

Malam Ahad, 28 Shafar 1444 Hijriyah, bertepatan 24 September 2022, digelar peringatan 21 tahun wafat KH Nizar Hafidz, Pengasuh PP Hidayatullah, Tampung, Kalirejo, Kecamatan Gondangwetan, Pasuruan. Saya mencoba mengenang sosok istiqamah, sabar, alim, dan sangat mencintai ilmu ini. Semoga menjadi ibarat dan isarat kebaikan bagi kita semua. Kiai Nizar adalah suami Bik Roh, bibi (adik abah) saya, Nyai Hariroh binti KH Birrul Alim. Karenanya, saya memanggil Kiai Nizar dengan Man Nizar. Man Nizar lama mondok di Sidogiri, era Kiai Abdul Jalil, Kiai Abdul Adzim hingga Kiai Kholil. Man Nizar diambil menantu untuk mengembangkan Pondok Tampung oleh Mbah Birrul Alim yang pernah menjadi pengasuh sementara Sidogiri saat transisi kepangasuhan dari Kiai Jalil ke Kiai Kholil Nawawi.  Mbah Birrul Alim sendiri menjadi pengasuh Pondok Tampung, karena sebagai santri senior di Pondok Sidogiri, diambil menantu Mbah Tolchah Tampung, dinikahkan dengan Nyai Masniyah (ibu abah saya, Kiai Muzakki). Begitulah tra