Skip to main content

In Memoriam: Selamat Jalan, Riris...

Hampir saja aku tak ingat namanya, apalagi menyebutnya. Hingga sebuah pesan pendek dari sekretarisku masuk. "Pak, Riris meninggal, pagi tadi". Riris... Ya, aku baru ingat. Bukankah dia yang biasa menyiapkan peralatan studio. Dia cakap memasang peralatan syuting, secakap dia memberesi ketika 'take' gambar usai dilaksanakan. Ya, aku juga ingat. Anak itu pendiam. Selalu menunduk, ketika berpapasan denganku. Tersenyum, menjawab dengan ramah, bahkan hanya mampu tersipu ketika aku usil menggojloknya.
Setahun kemarin, dia menikah. Aku datang. Aku sengaja menyempatkan waktu untuk datang. Aku harus datang, demi dia, demi kebaikan dia. Aku membalas dedikasi dia pada perusahaan. Dia bekerja atau mengabdi. Hampir tak bisa dibedakan. Dia memang mendapatkan gaji, tapi kecil.... tak sebanding dengan loyalitas dia. Apalagi belakangan aku tahu, dia bekerja sambil menahan sesuatu. Menahan rasa sakit yang dideritanya. Dia tidak pernah bercerita. Dia menyembunyikan sakitnya. Hingga aku tahu dari orang lain.
Kepadaku, memang dia pernah berbicara tentang sakit. Tapi bukan sakit yang dia derita. Tapi ibunya yang lagi sakit. Dia mau mengantar ke Rumah Sakit. Orang yang lagi sakit, mengantar orang sakit pula. Dia lebih memikirkan ibunya agar cepat sembuh, dari pada sakit yang dia derita.
Seperti saat dia menikah, aku pun bergegas ke rumahnya, langsung dari shalat jum'at di masjid sebelah kantor. Aku ingin datang lebih awal. Ingin berlama-lama dalam suasana duka. Aku termasuk datang yang pertama. Lebih awal dari orang-orang se kantor. Agar sempurna mengantar dia. Agar khusyuk ketika menyolati dia. Agar menemukan suasana 'persahabatan' terakhir dengan dia. Agar dia senang, mantan pimpinanannya menghadiri pemakamannya.
Aku sengaja mendekat ke liang kubur. Untuk menyaksikan dari dekat, dia ditidurkan untuk bersitirahat tenang. Beristirahat, dengan membawa kesabaran, kelurusan dan kebaikan yang diamini oleh para jama'ah shlat janazah dan yang hadir di pemakaman. Mataku nanar menatap gundukan tanah itu. Selamat jalan Riris. Di batu nisan tertulis: 'Rizky Darmawan'. O... Jadi itu dia namanya. Aku tak tahu, atau mungkin lupa nama lengkapnya. Pantas, dia begitu baik, sebaik namanya.
Selamat Jalan Riris.. Eh, Rizky Darmawan.
Allah akan menjaga ibu, istri dan juga bayi setahunmu yang lucu itu...
Jangan khawatirkan mereka. Ada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Melindungi...
Ris... Aku bangga padamu...

Comments

Popular posts from this blog

Obituari Kyai Mukhlason: 'Lentera' Itu Telah Padam

Namanya Kyai Muhlashon. Usianya sebaya dengan ayahandaku, 65-an tahun. Konon mereka berdua, satu pondok nyantri ke Kyai Jazuli, Ploso, Kediri. Karenanya, dia selalu baik padaku. Terasa sekali, kalau dia menganganggapku anak. Walau dia bungkus dengan sebuah penghormatan 'formal' padaku. Dia selalu memposisikan 'bertanya' kepadaku. Hanya karena dia pengurus MWC (pengurus NU di tingkat kecamatan). Sehingga merasa harus bertanya dan 'taat' pada kebijakan Pengurus Cabang. Acapkali aku merasa risih. Bukan hanya karena selisih umur yang hampir separuh, tetapi juga karena beliau syuriyah NU, pemegang kebijakan tertinggi di NU. Bahkan Rois Syuriyah. Sementara aku hanya tanfidziyah (pelaksana), dan itupun hanya sekretaris. Belum lagi, bila diperbandingkan 'jasa' beliau membina ruhani dan syari'at ummat. Waduh, gak ada apa-apanya. Aku hanya sebutir pasir di tengah gurun perjuangan yang dia jalani selama ini. Betapa tidak. Tiap malam, dia mengasuh pengajian ruti

Sindikasi Media-Media NU

Liberalisasi ekonomi di Indonesia berakibat pada penguasaan sektor strategis oleh pihak swasta terutama swasta asing. Eksistensi kita sebagai bangsa menjadi terancam. Bila tak ada perlindungan memadai dari negara, maka bisa dipastikan rakyat Indonesia akan menjadi obyek langsung liberalisme dan kapitalisme dunia. Salah satu sektor strategis yang hampir sepenuhnya dikuasai swasta (domestik dan asing) adalah sektor media. Oligopoli industri media telah membawa Indonesia pada ancaman serius di bidang kebudayaan mengingat industri media lebih menempatkan aspek bisnis sebagai misi utama mengesampingkan aspek budaya baik berupa norma sosial maupun agama. Sinyalemen Pakar Komunikasi Massa Dennis Mc Quail: conten of the media always reflects who finance them (isi media apa kata siapa pemilik media) benar-benar terbukti. Ketika Media dimiliki oleh kaum kapitalis (sebagian di antaranya kapitalis media internasional), maka pesan yang keluar dari media (cetak, elektronik dan internet) lebih

Televisi dan Cinta Kiai Nizar pada Gus Dur

Malam Ahad, 28 Shafar 1444 Hijriyah, bertepatan 24 September 2022, digelar peringatan 21 tahun wafat KH Nizar Hafidz, Pengasuh PP Hidayatullah, Tampung, Kalirejo, Kecamatan Gondangwetan, Pasuruan. Saya mencoba mengenang sosok istiqamah, sabar, alim, dan sangat mencintai ilmu ini. Semoga menjadi ibarat dan isarat kebaikan bagi kita semua. Kiai Nizar adalah suami Bik Roh, bibi (adik abah) saya, Nyai Hariroh binti KH Birrul Alim. Karenanya, saya memanggil Kiai Nizar dengan Man Nizar. Man Nizar lama mondok di Sidogiri, era Kiai Abdul Jalil, Kiai Abdul Adzim hingga Kiai Kholil. Man Nizar diambil menantu untuk mengembangkan Pondok Tampung oleh Mbah Birrul Alim yang pernah menjadi pengasuh sementara Sidogiri saat transisi kepangasuhan dari Kiai Jalil ke Kiai Kholil Nawawi.  Mbah Birrul Alim sendiri menjadi pengasuh Pondok Tampung, karena sebagai santri senior di Pondok Sidogiri, diambil menantu Mbah Tolchah Tampung, dinikahkan dengan Nyai Masniyah (ibu abah saya, Kiai Muzakki). Begitulah tra