Skip to main content

Ngobrol Pluralisme (2): Andai Dimaknai Keterlibatan dalam Keberagamaan

“Yes…!! I get it... “ Akhirnya FB menuntunku ‘bersua’ dengan sahabatku, Arif Zamhari. Dimataku, akademisi pintar ini pantas diacungi jempol. Kebaikannya membimbing dia ke posisinya sekarang. Ketekunannya membawa dia menjadi seorang Philosophy of Doctor (PhD), jebolan Australia. Kesahajaannya menarik hati seorang tokoh nasional menjadikan dia menantu (hehe..). Ceritanya menarik. Tapi sayang, ‘off the record’.
Tapi ini, bukan soal pribadi dia. Tapi soal lanjutan obrolan pluralisme, yang menjadi semakin gayeng dengan kehadiran dia. Arif memang spesialis ‘pemikiran islam’. Hobby-nya, menggali resonansi pemikiran ulama salaf (pesanten). Lantas, dia analisis menurut perspektif pemikiran modern. Jadi wajar, bila dia mengomentari obrolanku dengan Saiful tentang pluralisme, dengan nuansa yang lebih luas.
“Pluralisme, liberalisme dan sekulerisme (atau sering disingkat dengan SIPILIS) oleh MUI diharamkan karena menyamakan faham ini dengan keyakinan bahwa semua agama adalah benar. Andai pluralisme dimaknai dengan keterlibatan dalam keberagamaan, mungkin fatwa ini tidak akan muncul.” Tulisnya.
Bagiku, comment dia sangat berarti dalam. Ada sesuatu yang harus dilakukan dalam domain pemikiran dan pemahaman Islam di negri ini. Dulu, pendulumnya adalah Islam tradisional dengan Islam modern: NU dengan Muhammadiyah. Namun tema itu, sekarang bergeser. NU dan Muhammadiyah, justru sama-sama menghadapi sebuah tantangan keberagaman (yang tak terduga) dalam memahami ajaran Islam untuk merespon perkembangan globalisasi social dan budaya. Di satu sisi, mereka menghadapi liberalisme, termasuk pluralisme yang (konon) bergerak dari Dunia Barat. Di sisi lain, mereka juga menghadapi fundamentalisme (Islam Radikal) yang bergerak dari konteks konflik Timur Tengah.
Memang, mana bisa menolak arus deras yang namanya globalisasi. Rembesannya, toh akhirnya nyampe juga ke pekarangan pesantren di pedalaman sana. Pluralisme (dan juga liberalism) yang awalnya hanya menjadi tema diskusi terbatas di kelas-kelas kampus atau diskusi aktivis, akhirnya menyebar juga. Di sinilah masalahnya. ‘Alam ilmiah terbatas’ yang mestinya terjaga, tercampur dengan alam dakwah yang menuntut aneka penyederhanaan dan ‘pembentengan’ demi menyelamatkan ‘stabilitas’ pemahaman agama masyarakat awam.
Inilah yang coba aku sampaikan pada Arif: “Tema itu, memang masih elitis. Di antara pegiat agama (khususnya di kalangan pesantren), tema itu masih belum familiar. Jadi memang rawan terjadi 'judgement' terhadap sebuah konsep. Saya mendambakan, ada sebuah dialog terpola dengan menyepakati dulu 'konteks' ('illat) masalah. Iku tantangan dan 'tanggung jawab' intelektual seorang PhD 'pemikiran islam' seperti nt, hehe...”
Kami dulu memang dekat. Senasib, sepenanggungan. Dalam tradisi pergaulan aktivis, serius dan guyon, bercampur aduk, kadang sulit dibedakan. Buktinya, dia tak terpengaruh dengan godaanku. Dia terus menganalisa dan menjelaskan:
“Iya, padahal di kalangan pesantren sudah punya prinsip-prinsip pengakuan terhadap keberagaman. Memang harus ada bahasa yang lebih membumi dan familiar di kalangan pesantren sehingga tidak ada kesan bahwa konsep ini cenderung melangit, Barat, idiom. Kami lagi mengusung bagaimana konsep tentang keadaban (civic education) dapat diakrabi oleh kalangan NU di Jawa Barat, Banten dan Jakarta. Bahasa yang kita pakai hampir semua menggunakan idiom-idiom khas kitab kuning. Ini yang bisa kami ihtiarkan dengan beberapa pengurus PB NU tahun lalu. Saya berharap usaha ini bisa menjadi bagian dari kerja bersama sehingga dapat menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Glad to meet and see your humble face and read your briliant thought as used to be....”
Dan akupun bercerita dengan terus terang. Sebagai orang yang lagi 'act locally', saya memang harus menghadapi tantangan homogenitas pemikiran yang menjangkit di kalangan NU dan pesantren. Saya jadi ingat, ketika Mbah Wahab, terlebih dahulu melakukan gerakan revolusi pemikiran melalui 'tashwirul afkar' jauh sebelum NU didirikan. Langkah itu adalah 'taxi way' yang harus kita prepare sebelum menerbangkan pesawat NU. Ketakutan berlebihan dari kalangan pesantren, akibat gerakan 'short cut' ala pemikir (liberalis) muda, semakin membuat pesantren menarik selimut tebalnya. Dialog terhenti, yang ada hanya 'hijab' dan tuduhan murtad. Tashwirul afkar, harus digagas lagi, secara lebih masif.. dengan cara khas NU: tawazun, tasamuh dan cari titik equilibriumnya (tawasuth).
Aku tahu, tak mungkin masalah seberat pluralism, akan diselesaikan melalui diskusi ‘comment’ di situs jejaring social semacam FB. Tapi lumayan, ada kabar baik dari networking dia. “Kalau ada program semacam itu, PCNU Kab. Pasuruan, daftar dan indent..” tulisku mengakhiri. Hehe…

Comments

Popular posts from this blog

Obituari Kyai Mukhlason: 'Lentera' Itu Telah Padam

Namanya Kyai Muhlashon. Usianya sebaya dengan ayahandaku, 65-an tahun. Konon mereka berdua, satu pondok nyantri ke Kyai Jazuli, Ploso, Kediri. Karenanya, dia selalu baik padaku. Terasa sekali, kalau dia menganganggapku anak. Walau dia bungkus dengan sebuah penghormatan 'formal' padaku. Dia selalu memposisikan 'bertanya' kepadaku. Hanya karena dia pengurus MWC (pengurus NU di tingkat kecamatan). Sehingga merasa harus bertanya dan 'taat' pada kebijakan Pengurus Cabang. Acapkali aku merasa risih. Bukan hanya karena selisih umur yang hampir separuh, tetapi juga karena beliau syuriyah NU, pemegang kebijakan tertinggi di NU. Bahkan Rois Syuriyah. Sementara aku hanya tanfidziyah (pelaksana), dan itupun hanya sekretaris. Belum lagi, bila diperbandingkan 'jasa' beliau membina ruhani dan syari'at ummat. Waduh, gak ada apa-apanya. Aku hanya sebutir pasir di tengah gurun perjuangan yang dia jalani selama ini. Betapa tidak. Tiap malam, dia mengasuh pengajian ruti

Sindikasi Media-Media NU

Liberalisasi ekonomi di Indonesia berakibat pada penguasaan sektor strategis oleh pihak swasta terutama swasta asing. Eksistensi kita sebagai bangsa menjadi terancam. Bila tak ada perlindungan memadai dari negara, maka bisa dipastikan rakyat Indonesia akan menjadi obyek langsung liberalisme dan kapitalisme dunia. Salah satu sektor strategis yang hampir sepenuhnya dikuasai swasta (domestik dan asing) adalah sektor media. Oligopoli industri media telah membawa Indonesia pada ancaman serius di bidang kebudayaan mengingat industri media lebih menempatkan aspek bisnis sebagai misi utama mengesampingkan aspek budaya baik berupa norma sosial maupun agama. Sinyalemen Pakar Komunikasi Massa Dennis Mc Quail: conten of the media always reflects who finance them (isi media apa kata siapa pemilik media) benar-benar terbukti. Ketika Media dimiliki oleh kaum kapitalis (sebagian di antaranya kapitalis media internasional), maka pesan yang keluar dari media (cetak, elektronik dan internet) lebih

Televisi dan Cinta Kiai Nizar pada Gus Dur

Malam Ahad, 28 Shafar 1444 Hijriyah, bertepatan 24 September 2022, digelar peringatan 21 tahun wafat KH Nizar Hafidz, Pengasuh PP Hidayatullah, Tampung, Kalirejo, Kecamatan Gondangwetan, Pasuruan. Saya mencoba mengenang sosok istiqamah, sabar, alim, dan sangat mencintai ilmu ini. Semoga menjadi ibarat dan isarat kebaikan bagi kita semua. Kiai Nizar adalah suami Bik Roh, bibi (adik abah) saya, Nyai Hariroh binti KH Birrul Alim. Karenanya, saya memanggil Kiai Nizar dengan Man Nizar. Man Nizar lama mondok di Sidogiri, era Kiai Abdul Jalil, Kiai Abdul Adzim hingga Kiai Kholil. Man Nizar diambil menantu untuk mengembangkan Pondok Tampung oleh Mbah Birrul Alim yang pernah menjadi pengasuh sementara Sidogiri saat transisi kepangasuhan dari Kiai Jalil ke Kiai Kholil Nawawi.  Mbah Birrul Alim sendiri menjadi pengasuh Pondok Tampung, karena sebagai santri senior di Pondok Sidogiri, diambil menantu Mbah Tolchah Tampung, dinikahkan dengan Nyai Masniyah (ibu abah saya, Kiai Muzakki). Begitulah tra